REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) Indonesia sepakat untuk menyusun rekomendasi mengenai kebijakan pengelolaan limbah industri di Tanah Air yang lebih baik.
"Kemenperin bersama UNDP menyelenggarakan seminar agar bisa terjadi dialog dan terkumpul ide pembelajaran dari semua pemangku kepentingan," kata Kepala BPPI Kemenperin Ngakan Timur Antara melalui keterangannya diterima di Jakarta, Senin (8/1).
Tujuan langkah sinergi ini, antara lain, untuk mewujudkan prinsip industri hijau serta peningkatan daya saing dan membangun manufakur nasional yang berkelanjutan. Dengan adanya prosedur tetap, Ngakan berharap dapat mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan pencemar organik yang persisten atau Persistent Organic Pollutants (POPs) dalam produksi di industri.
Salah satu bahan kimia berbahaya yang terdaftar sebagai POPs dan disinyalir masih digunakan di Indonesia adalah Polybrominated Diphenyl Ethers (PBDEs). Ini biasanya digunakan sebagai flame retardant (penghambat nyala api) pada proses produksi.
Oleh karena itu, Ngakan meminta sejumlah manufaktur, seperti industri plastik, tekstil, alat angkut, dan elektronika, agar menggunakan teknologi pengolahan limbah yang sesuai dengan standar.
Apabila diimplementasikan secara baik di Indonesia, menurut Ngakan, membawa manfaat sebesar-besarnya terhadap keberlanjutan sumber daya alam, kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Apalagi, sektor-sektor tersebut sebagai penopang pertumbuhan industri nonmigas nasional. Pada Triwulan III 2017, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik memberikan kontribusi sebesar 10,46 persen, serta industri alat angkutan menyumbangkan sebanyak 10,11 persen.
Selain itu, industri tekstil, alat transportasi, elektronika, dan telematika merupakan industri andalan nasional yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015 s.d. 2035.
Menurut Ngakan, upaya kolaborasi Kemenperin dan UNDP ini sebagai wujud komitmen karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs).
Berdasarkan Konvensi Stockholm, telah teridentifikasi 12 bahan yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik persisten yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Selain bisa mengurangi timbulan limbah, pendekatan tersebut juga membantu mengurangi pemanfaatan bahan bakar fosil.