REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani di Bali pada Desember 2017 sebesar 4.548,63 per kilogram, mengalami kenaikan Rp 135 atau 3,06 persen dibandingkan bulan sebelumnya tercatat Rp 4.413,73.
"Demikian pula harga gabah di tingkat penggilingan sebesar Rp4.623,83 per kilogram, naik Rp 144,23 atau 3,22 persen dibandingkan bulan sebelumnya tercatat Rp 4.479,60 per kg," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Adi Nugroho di Denpasar, Senin (8/1).
Ia mengatakan, kenaikan harga gabah di tingkat petani dan penggilingan tersebut menyebabkan harganya jauh lebih tinggi dari harga patokan pemerintah (HPP) yang berlaku untuk tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kg dan tingkat penggilingan Rp 3.750 per kg.
Harga gabah di tingkat petani dan penggilingan tersebut merupakan hasil pemantauan harga gabah yang dilakukan di tujuh kabupaten di Bali meliputi Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng. Adi Nugroho mengatakan, subsektor tanaman pangan yang meliputi padi dan palawija merupakan salah satu dari lima subsektor yang menentukan pembentukan nilai tukar petani (NTP) yang mampu mengetahui tingkat kemampuan dan daya beli petani di daerah perdesaan. Selain itu, menunjukkan daya tukar dari produk pertanian terhadap barang dan jasa yang sangat diperlukan petani dalam memenuhi konsumsi rumah tangga.
NTP subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya yang mengalami kenaikan yakni sebesar 0,40 persen dari 97,85 persen pada November 2017 menjadi 98,24 persen pada Desember 2017. Meskipun satu-satunya yang mengalami kenaikan, hingga saat ini indeks nilai tukar petani tanaman pangan masih berada di bawah 100 persen, yang berarti nilai tukar atas hasil produksi tanaman pangan yang dihasilkan lebih rendah dari biaya produksi dan pengeluaran konsumsi rumah tangga petani.
Indeks harga yang diterima petani (lt) subsektor tanaman pangan tercatat mengalami kenaikan sebesar 1,22 persen, berkat meningkatnya harga gabah. Sementara itu, indeks harga yang dibayar petani (lb) juga mengalami kenaikan sebesar 0,82 persen, yang dipengaruhi oleh naiknya indeks harga konsumsi rumah tangga sebesar 0,95 persen serta indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) sebesar 0,19 persen.
Sementara, Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta dalam kesempatan terpisah mengatakan, Pemprov Bali akan menggenjot sektor pertanian dengan meningkatkan alokasi anggaran menjadi 11 persen dari total rencana belanja daerah tahun 2018 sebesar Rp 6,6 triliun mengantisipasi pariwisata yang melesu karena terdampak erupsi Gunung Agung. Hal itu sebagai upaya mengatasi situasi saat pariwisata mengalami masalah sehingga sektor pertanian bisa mengenjot untuk kebutuhan internal maupun orientasi ekspor.
Menurut Sudikerta, peningkatan anggaran pertanian tersebut bahkan melebihi aturan minimum yakni sebesar tujuh persen. Sektor pertanian menopang pendapatan daerah sebesasr 14,92 persen atau sektor kedua terbesar berkontribusi bagi Bali setelah pariwisata (hotel dan restoran) yang menyumbang sekitar 22 persen berada di posisi pertama.
Peningkatan anggaran pertanian tersebut, menurut Wagub Ketut Sudikarta, digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan membangun infrastruktur pertanian seperti waduk, irigasi, jalan dan penyediaan bibit unggul. Selain itu, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia petani dengan penyuluhan dan pertukaran petani ke luar Bali serta untuk memajukan pertanian di Pulau Dewata.