REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai sepanjang 2017 cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa perlindungan konsumen di Tanah Air masih sangat lemah.
"Padahal, konsumen adalah salah satu pilar utama roda perekonomian. Tanpa konsumen, roda ekonomi akan lumpuh karena tidak ada transaksi apa pun," kata Tulus melalui pesan tertulisnya di Jakarta, Kamis (28/12).
Namun, meskipun menjadi salah satu pilar utama, Tulus menilai dalam banyak hal konsumen justru berada pada posisi yang lemah dalam sistem transaksi maupun roda perekonomian secara keseluruhan. Negara sebagai pembuat aturan yang seharusnya menjadi penyeimbang antara kepentingan konsumen dengan pelaku usaha, justru terlihat lebih banyak menempatkan konsumen pada posisi lemah tersebut. "Akhirnya, pemenuhan hak-hak konsumen menjadi terpinggirkan. Itu merupakan potret yang paling kentara untuk mencerminkan situasi dan kondisi perlindungan konsumen pada 2017," tuturnya.
Tulus mengatakan terdapat beberapa kejadian sepanjang 2017 yang menunjukkan bahwa negara belum hadir untuk melindungi konsumen. Dalam kejadian penelantaran calon jamaah umrah misalnya, Tulus menilai pemerintah mudah memberikan perizinan biro umroh, tetapi gagal dalam mengawasi dan menegakkan hukum dalam melindungi calon jamaah.
Begitu pula dalam pro dan kontra perizinan pembangunan kawasan perumahan terpadu di Cikarang, Jawa Barat. Perbedaan sikap antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pemerintah pusat menempatkan konsumen pada ketidakpastian hukum, sementara promosi dilakukan secara bombastis.
Tulus juga menilai negara justru menciptakan kegaduhan baru yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Hal itu tercermin pada kasus pendaftaran ulang pemegang kartu prabayar, wacana penyederhanaan tarif listrik dan penerapan Gerakan Nasional Nontunai (GNNT).
Negara juga terlihat tidak berdaya dalam melindungi konsumen dan kepentingan publik karena kebijakan yang berorientasi pada pasar seperti pada permasalahan tarif listrik dan bahan bakar minyak, kelangkaan gas elpiji bersubsidi, serta impor bahan pangan yang masih saja terjadi.
Puncaknya adalah kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Konsumen yang kritis memperjuangkan haknya justru dikriminalkan oleh pelaku usaha dan dengan cepat diproses secara hukum. "Padahal, saat banyak terjadi pelanggaran pidana oleh pelaku usaha dalam ranah hak-hak konsumen, proses hukum yang terjadi justru sangat lambat," katanya.