Selasa 26 Dec 2017 19:26 WIB

Puspeknas Soroti Potensi Rebound Perekonomian Nasional

‘Kaleidoskop Ekonomi  Indonesia 2017’ di Kantor Puspeknas, Jakarta, Selasa (26/12).
‘Kaleidoskop Ekonomi Indonesia 2017’ di Kantor Puspeknas, Jakarta, Selasa (26/12).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kinerja ekonomi tahun 2017 bagi Indonesia dinilai tidak terlalu indah seperti yang diharapkan sebelumnya oleh masyarakat dan pemerhati ekonomi. Masih kuatnya tingkat eksposure Indonesia terhadap perekonomian dunia yang relative meningkat namun lambat (3.2% di tahun 2016 menjadi 3.6% di tahun 2017) membuat perekonomian Indonesia mau tidak mau harus pula tumbuh lambat.

Chairman Pusat Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Nasional (Puspeknas) Ahmad Labib mengatakan pada tiga triwulan awal tahun 2017 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5.02% saja dan jauh dari target yang semula dicanangkan. “Namun indikasi rebound perekonomian nasional mungkin terjadi di tahun 2018 dikarenakan pola pertumbuhan ekonomi global baik kelompok negara maju dan berkembang memang menunjukkan hal serupa,” kata Ahmad Labib dalam Diskusi Akhir Tahun Puspeknas bertema ‘Kaleidoskop Ekonomi  Indonesia 2017’ di Kantor Puspeknas, Jakarta, Selasa (26/12).

Diskusi yang dimoderatori Ketua Bidang Hikmah PP Pemuda Muhammadiyah Sunanto menghadirkan narasumber Chairman Puspeknas Ahmad Labib, Pokja Komite Industri dan Maritim Nasional (Kein) Dr Lia Kian, dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) Andi Fajar Asti.

Labib mengatakan guna memanfaat situasi indikasi rebound ekonomi ini tentunya Indonesia harus mempelajari posisi-nya dalam hal terpenting dalam aktifitas ekonomi, yaitu perdagangan internasional. Menurutnya, sampai saat ini Indonesia masih belum dapat meningkatkan posisi tawarnya di dunia perdagangan internasional karena langkah pengembangan dan pembangunan sektor perdagangan nasional masih terhambat oleh banyak hal sektoral lainnya, yakni utamanya pengembangan dan regulasi di sektor industry, investasi dan keuangan/perbankan.

“Sejatinya dengan potensi SDA yang cukup serta SDM yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai bonus demografi, Indonesia dapat lebih unggul dibandingkan negara-negara lain khususnya di region Asia Tenggara,” ujarnya.

Labib menambahkan, sejauh ini terlihat bahwa kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional dari perdagangan internasional adalah yang terendah secara tahunan ( hanya 0.08% pada tahun 2016) dan bahkan pernah negative (-0.24%) pada tahun 2014. Namun, lanjut Labib, data terakhir bulan September 2017 memperlihatkan bahwa peningkatan y-o-y dari ekspor nasional mudah-mudahan akan memperbaiki kinerja perdagangan yang selama 5 tahun terakhir turun terus namun bila peningkatan ini dikarenakan trend peningkatan harga-harga komoditas global utamanya pertanian dan SDA yang terjadi, maka perangkap dutch desease kembali akan dialami Indonesia seperti dialami pada saat oil boom dan commodity boom di masa-masa sebelumnya.

Pokja Komite Industri dan Maritim Nasional (Kein) Dr Lia Kian mengatakan masalah dan isu lainnya yang membayangi perekonomian Indonesia tahun ini adalah pelemahan daya beli masyarakat yang ditandai oleh menurunnya komsumsi masyarakat untuk barang-barang kebutuhan pokok dan tutupnya banyak pusat perbelanjaan domestik serta gerai-gerai yang beroperasi di dalamnya. “Data BPS 2 tahun terakhir memang terdapat kecenderungan tren perlambatan pertumbuhan konsumsi masyarakat atas barang barang kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan), sementara konsumsi atas barang lainnya tumbuh lebih tinggi,” kata Lian.

Lian menambahkan masalah yang juga cukup penting untuk direfleksikan dan diproyeksikan adalah isu pemerataan pendapatan dan pembangunan. Menurutnya, kinerja di tahun 2017 dalam hal isu pemerataan secara rasional dapat diterima karena investasi di bidang infrastruktur tidak dapat dirasakan dampak ekonominya langsung secara keseluruhan pada saat infrastruktur dibangun bahkan setelah proyek infrastruktur ituselesai. “Semua dampak ekonomi dari program pembangunan insfrastruktut akan utuh tercerminkan pada saat infrastruktur tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat dalam aktifitas ekonomi mereka,” kata Lian.

Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) Andi Fajar Asti mengatakan secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi nasional memang adalah domain peran swasta dalam artian kegiatan sektor riil masyarakat sebagai  sumber pertumbuhan ekonominya. Namun, menurut Fajar, secara konsep dan teori tidak dipungkiri bahwa peran fiskal pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat melalui APBN-nya adalah keharusan sebagai alat intervensi pemerintah yang efektif guna mendorong akselerasi perekonomian nasional melalui efek multiplier belanja pemerintah yang berkualitas.

Fajar menambahkan, semua refleksi dan proyeksi ekonomi yang telah disampaikan tentunya tidak lepas dari niatan dan kemauan untuk bekerja lebih keras dan efektif di tahun depan. Menurutnya, amunisi sudah lebih dari cukup di luar potensi penerimaan pajak, pemerintah juga sudah mencanangkan penurunan sisi pembiayaan atau tepatnya ketergantungan terhadap hutang pada tahun 2018.

“Adapun tantangan dari dalam negeri adalah Indonesia akan menghadapi tahun politik di tahun 2018,” kata Fajar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement