REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan salah satu kendala pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah regulasi yang sering berubah. Inkonsistensi regulasi membuat ketidakpastian investasi bagi para investor.
Menurut dia, pemerintah harus lebih konsisten dalam menetapkan kebijakan. Apalagi, harga yang masih mahal bagi pengembangan investasi EBT membuat investor membutuhkan modal yang tak sedikit. Kepastian iklim investasi jadi syarat mutlak sebagai jaminan bagi para investor untuk bisa melakukan investasi pembangkit EBT. "Regulasi yang terus berubah membuat produsen listrik swasta bingung," kata Fabby, di Jakarta, Kamis (21/12).
Dia mencontohkan, dalam setahun ada perubahan peraturan menteri terkait EBT. Selain itu, revisi tarif juga kerap diubah. Dari segi investasi, hal ini tentu menjadi kendala karena menimbulkan ketidakpastian.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Sony Keraf menjelaskan, DEN sudah mencoba mengkomunikasikan terkait perubahan aturan yang membuat iklim investasi EBT menjadi terganggu. Sony mengatakan, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengenai hal ini. Namun menurut Sony, pemerintah berargumen ingin menciptakan harga listrik yang murah bagi masyarakat.
"Kami juga gelisah dengan perubahan peraturan. Harapan dari para investor, pemerintah harus lebih kompak dalam menetapkan peraturan," ujar dia.
Sony mengatakan, dalam sidang DEN ke-24 belum lama ini, persoalan EBT sempat disinggung dan masuk dalam poin-poin pembahasan rencana umum energi nasional (RUEN). Sony mengatakan DEN berkomitmen mengawal daerah dalam pembentukan rencana umum energi daerah (RUED) sehingga nantinya implementasi di lapangan terkait regulasi investasi EBT bisa lebih ramah.
"Kita sedang dorong ini agar target-target di RUEN bisa tercapai. 2018 DEN akan mengawal RUED," ujar Sony.