Senin 18 Dec 2017 13:36 WIB

BI: Inklusi Keuangan yang Rendah Picu Shadow Economy

Deputi Gubernur BI Sugeng
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Deputi Gubernur BI Sugeng

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat inklusi keuangan yang rendah dapat memicu imbas negatif bagi perekonomian, salah satunya adalah kegiatan ekonomi bawah tanah (shadow economy) yang tidak terdata sehingga rawan menimbulkan gejolak bagi stabilitas sistem keuangan, kata Bank Indonesia.

Deputi Gubernur BI Sugeng dalam Seminar Penyaluran Bansos Non-Tunai di Jakarta, Senin (18/12), menyoroti masih rendahnya tingkat inklusi keuangan Indonesia yang sebesar 36 persen. Sugeng merujuk data inklusi keuangan sebesar 36 persen di Indonesia berdasarkan survei Bank Dunia pada 2014.

"Artinya, baru 36 persen penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki rekening pada lembaga keuangan formal," ujarnya.

BI dan pemerintah menargetkan rasio inklusi keuangan itu dapat meningkat hingga 75 persen pada 2019, sesuai Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Menurut Sugeng, terdapat tiga imbas negatif akibat rendahnya tingkat inklusi keuangan bagi perekonomian di Indonesia.

Pertama, dari segi stabilitas sistem keuangan, inklusi keuangan yang rendah menyebabkan ekslusivitas. Berarti hanya sebagian kecil yang memahami dan memiliki akses produk dan jasa keuangan.

Dengan ekslusivitas tersebut, Dana Pihak Ketiga (DPK) industri keuangan tidak akan tumbuh maksimal. Sehingga fungsi intermediasi industri keuangan akan stagnan dan mengurangi bantalan bagi sistem keuangan jika terjadi resesi.

Stabilitas keuangan juga terganggu karena rentannya kegiatan shadow economy mengingat minimnya akses industri keuangan terhadap kegiatan perekonomian masyarakat. "Jika shadow economy maka rawan menimbulkan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme," ucapnya.

Jika shadow economy atau kegiatan ekonomi yang tidak terdata terjadi, maka otoritas atau regulator negara akan sulit menghitung skala kegiatan didalamnya, termasuk juga memperkirakan potensi kerugian negara akibat aktivitas yang tidak transparan tersebut.

Kedua, dari sisi masyarakat, ekslusivitas keuangan juga akan menghambat budaya menabung dan memupuk aset sehingga masyarakat tidak memiliki dana untuk berjaga-jaga dalam membiayai keperluan di masa depan.

"Banyaknya masyarakat yang belum mengenal produk dan jasa keuangan juga akan menyebabkan inefisiensi dalam transaksi pembayaran," tuturnya.

Ketiga, ekslusivitas dalam produk dan jasa keuang akan semakin memperlebar tingkat ketimpangan ekonomi. Jika tingkat inklusi keuangan terus rendah, maka laju pertumbuhan ekonomi tidak akan berkualitas meskipun tinggi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement