Rabu 13 Dec 2017 20:49 WIB

PHK Hantui Pekerja Industri Kawat Baja

Pabrik peleburan baja (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pabrik peleburan baja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gabungan Industri Produk Kawat Baja Indonesia (Gipkabi) menyebut pemutusan hubungan kerja (PHK) mengancam pekerja di industri hilir baja. Ini menyusul adanya rencana penerapan bea masuk anti dumping (BMAD) untuk produk kawat baja sebesar 10,2013,5 persen selama lima tahun.

Ketua Gipkabi Ario Setiantoro mengatakan, penerapan BMAD tersebut sedang diusulkan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) kepada Kementerian Perdagangan. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa melesukan industri produk kawat baja lantaran masih banyak bahan baku yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.

"Apalagi ini kebijakannya akan berlaku lima tahun. Ini sangat memberatkan dan bisa menyebabkan PHK," kata Ario di Jakarta, Rabu (13/12).

Dia mengatakan, kebijakan BMAD secara otomatis bakal menyebabkan kenaikan biaya produksi sekitar tujuh persen. Dengan begitu, keuntungan yang bisa didapat perusahaan bakal mengalami penurunan.

Saat ini, ujar dia, kebutuhan kawat baja mencapai 2,5 juta metric ton (MT) per tahun. Adapun kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 1,5 juta MT. Ada kekurangan pasokan 1 juta MT yang harus dipenuhi dengan cara impor. "Kami butuh kawat baja untuk memenuhi kebutuhan industri otomotif dan juga infrastruktur," katanya.

Dia menjelaskan, kawat baja dibutuhkan sebagai bahan baku untuk memproduksi produk seperti mur, baut, kawat jembatan, dan barang-barang pendukung konstruksi lainnya. Menurut dia, kebijakan BMAD juga bertolakbelakang dengan semangat pemerintah yang sedang memacu pembangunan infrastruktur.

Wakil Ketua Gipkabi Sindu Prawira mengatakan, industri kawat baja sudah cukup tertekan dengan adanya regulasi ketat. Saat ini, industri telah dibatasi dengan adanya Permendag No 82 Tahun 2016 tentang Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya. Secara garis besar, proses impor dilakukan dengan sangat ketat.

"Kalau semakin dibatasi bakal mengganggu pertumbuhan. Apalagi, untuk kebutuhan produksi tertentu, misalnya mata bor, itu bahannya belum ada di Indonesia," kata Sindu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement