Selasa 12 Dec 2017 17:59 WIB

Vokasi Diarahkan untuk Penuhi Kebutuhan Industri Digital

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Dwi Murdaningsih
Pendidikan Vokasi (ilustrasi)
Foto: www.pnj.ac.id
Pendidikan Vokasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian sedang menggalakkan pendidikan vokasi yang salah satu tujuannya mengurangi angka pengangguran. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, agar program tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan, pemerintah harus memfokuskan pendidikan vokasi untuk memenuhi kebutuhan industri digital yang sedang berkembang saat ini.

"Kalau vokasi yang disiapkan untuk menjadi buruh pabrik atau teknisi, sudah ketinggalan zaman. Vokasi harus berbasis IT kalau kita mau bersaing," kata Bhima, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/12).

Ke depan, ia memprediksi, industri tidak lagi bisa menyerap banyak tenaga kerja karena adanya digitalisasi. Pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan manusia, mulai digantikan oleh mesin. Karena itu lah, Bhima mengatakan, pendidikan vokasi yang digalakkan oleh pemerintah harus disiapkan untuk mengikuti perkembangan tersebut.

"Saya kira yang kebutuhannya besar ke depan nanti adalah developer IT."

Sebelumnya, Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap adanya tren penyusutan jumlah lapangan kerja yang dihasilkan sektor formal sejak 10 tahun terakhir.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2010, setiap investasi sebesar Rp 1 triliun dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 5.015 orang. Di 2016, rasio tersebut menurun menjadi hanya 2.272 orang tenaga kerja per Rp 1 triliun nilai investasi.

"Data mengonfirmasi bahwa investasi di sektor formal penyerapannya lebih sedikit," kata Hariyadi, akhir pekan lalu.

Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan turunnya serapan tenaga kerja tersebut karena banyak perusahaan yang semakin berhati-hati dalam berekspansi di sektor padat karya. Hal ini karena perusahaan enggan menambah beban biaya, terutama sejak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang cukup tinggi beberapa waktu lalu.

"Sebelum 2015 kenaikan UMP tinggi sekali, bisa 20 persen. Jadi dampaknya sekarang," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement