Jumat 24 Nov 2017 20:18 WIB

Upaya Meredam Konflik di Kawasan Pertambangan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Tambang bawah tanah PT Freeport
Foto: Republika/Musiron
Tambang bawah tanah PT Freeport

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Asia Research Center dari Murdoch University, Lian Sinclair menilai ada beberapa cara bisa dilakukan untuk meredam konflik antara perusahaan dan masyarakat. Salah satunya program coorporate social responsibility (CSR) partisipatif sebagai strategi yang banyak diambil perusahaan. Tujuannya, sebagai penyelesai masalah, mendepolitisasi serta menyembunyikan konflik, termasuk perusahaan pertambangan.

"Perusahaan-perusahaan melancarkan beberapa strategi penyelesaian konflik dengan masyarakat terutama melalui versi CSR yang partisipatif," kata Lian pada diskusi 'Konflik, Kuasa, Kapital: Perusahaan Pertambangan Australia di Indonesia' di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Kamis (23/11).

Lian menyampaikan, program CSR partisipatif yang sering dijalankan yang sering dijalankan seperti pengembangan masyarakat, konsultasi, pemberian kompensasi, sosialisasi dan pengelolaan lingkungan. Dalam pelaksanaan, perusahaan melibatkan masyarakat yang terdampak pertambangan melalui proses-proses manajemen korporat.

Ia pun sempat memaparkan hasil awal penelitian lapangan untuk proyek S3-nya di Murdoch University. Lian melakukan penelitian di tiga lokasi yaitu tambang pasir besi di Kulon Progo, tambang emas Kelian Kutai Barat, dan tambang emas Gosowong yang dimiliki Newcrest Mining Ltd di Halmahera Utara.

"Menunjukkan adanya mekanisme partisipatif seperti pengembangan masyarakat, memberikan ganti rugi, sosialisasi dan lain, ini dilakukan sebagai usaha merespon konflik, depolitisasi konflik dan membangun hubungan-hubungan sosial yang diperlukan untuk pengembangan pertambangan kapitalis," ujar Lian.

Peneliti PSKP UGM, M Faried Cahyono mengatakan, pemetaan konflik dengan memahami sejarah, budaya serta kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keamanan warga perlu dilakukan dalam penyelesaian konflik. Selain itu, pemetaan eksternalitas harus pula dilakukan.

"Pendataan harus detail terhadap kemungkinan-kemungkinan eketernalitas negatif yang akan terjadi seperti masyarakat yang tersingkir, kerusakan lingkundan dan lainnya," ujar Faried.

Tidak hanya itu, Faried menambahkan, perlu ada pengembangan langkah antisipatif dalam penyelesaian konflik. Upaya antisipasi secara komprehensif untuk menyiapkan rencana pemecahan masalah dengan basis win-win solution dan berorientasi ke masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement