Selasa 21 Nov 2017 15:55 WIB

Produk Teh Indonesia Ditolak di Eropa

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Nidia Zuraya
Pemetik teh di perkebunan teh Kertosono, PTPN XII di kawasan wisata Gucialit
Foto: ist/Sendy Aditya Saputra
Pemetik teh di perkebunan teh Kertosono, PTPN XII di kawasan wisata Gucialit

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pasar Eropa masih terus meragukan kualitas teh ekspor Indonesia. Penolakan terahadap produk teh Indonesia ini sudah berlangsung sejak dua tahun terakhir.

Pemblokiran yang dilakukannya membuat petani kecil, baik dari perusahaan swasta maupun negara di Indonesia semakin terus terancam keberadaannya. "Saya konsentrasi ke daun teh karena harga ekspornya mahal. Dan semenjak diblok oleh Eropa, nilai ekspor kita turun lebih dari 20 persen dari tahun lalu," kata Direktur Pengaman Perdagangan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Padnyawati di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Selasa (21/11).

Menurut Padnyawati, pengeksporan teh ke Eropa terhambat pada aspek kesehatannya. Mereka menilai, teh Indonesia mengandung senyawa antrakinon yang berasal dari residu pestisida. Senyawa ini sangat dilarang di pasar Eropa karena dianggap dapat memicu penyakit kanker.

"Gara-gara itu petani kecil kita tidak bisa menjual teh dan nggak laku dijual," kata dia.

Mendapat tuduhan itu, Padnyawati, pihaknya pun mulai mencari bukti ilmiah dengan merekrut para ahli, baik dari Kemendag maupun lembaga pendidikan Indonesia lainnya. Dari penelitian, Padnyawati tidak menampik teh Indonesia memang mengandung senyawa tersebut dengan ukuran yang sangat kecil. Saking kecilnya, dia yakin sekalipun diseduh ke air panas akan hilang sifat karsinogeniknya.

Hal yang menjadi masalah, kata dia, ada pada batasan maksimum takaran residu pestisida yang tak mampu dicapai Indonesia. Batas takaran 0,01 mg per kilogram sebenarnya tak terlalu mengganggu kesehatan manusia. Namun sayangnya, pasar Eropa masih berpengangan pada batasan yang tak bisa dipenuhi petani Indonesia itu.

Adapun mengenai identifikasi senyawa yang dianggap berbahaya itu, Padnyawati menyebutkan, ini berasal dari proses pengeringan dan pengasapan. Proses pengeringan yang menggunakan cara tradisional seperti kayu bakar membuat senyawa itu timbul. Atas situasi ini, pihaknya telah berusaha memperbaiki proses ini dengan menggunakan uap atau boiler.

"Termasuk kita masih terus berjuang agar kadar residu pestisida ditingkatkan lagi," tambah dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement