REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Bank Dunia memprediksi harga minyak dunia diprediksi akan naik ke harga 56 dolar per barel pada 2018 mendatang seiring meningkatnya permintaan, pemangkasan produksi negara eksportir minyak, dan stabilnya produksi minyak AS. Sementara itu, harga logam diprediksi akan turun tahun depan.
Dalam laporan Proyeksi Pasar Komoditas Oktober, Bank Dunia menyebut, harga komoditas energi, termasuk migas dan batu bara, diprediksi akan naik empat persen pada 2018 setelah turun 28 persen sepanjang 2017 ini. Sementara harga komoditas pangan dan bahan mentah sedikit turun pada 2017 dan akan naik tahun depan.
''Harga komoditas energi naik karena permintaan naik dan stok berkurang. Tapi ini masih tergantung para produsen minyak dunia, mau memangkah atau menambah produksi,'' kata ekonom senior Bank Dunia John Baffes dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (27/10).
Baffes juga menilai pembangunan di Cina juga akan berperan penting dalam menentukan harga logam. Harga logam sendiri diprediksi stabil setelah naik 22 persen sepanjang 2017 ini.
Bank Dunia sendiri merevisi prediksi harga minyak yang sebelumnya mereka sampaikan pada April lalu. Para pemasok seperti Libia, Nigeria, dan Venezuela kemungkinan akan tidak stabil. Sementara pembatasan pasokan dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan beberapa produsen lain juga sudah disepakati.
Hal dinilai dapat mengurangi tekanan terhadap harga minyak. Meski begitu, kegagalan kesepakatan bisa membuat harga minyak turun kembali.
Harga gas juga diprediksi naik tiga persen dan batu bara juga diprediksi turun setelah naik 30 persen pada 2017. Kebijakan lingkungan Cina akan sangat berperan pada perdagangan komoditas-komoditas tersebut.
Harga besi diproyeksikan naik 10 persen dan akan menarik pula harga timbal, nikel, dan seng. Sementara harga emas akan turun mengimbangi kenaikan suku bunga di AS.
Harga produk pertanian juga diprediksi naik karena ketatnya pasokan. Beberapa jenis biji-bijian diprediksi akan stabil tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Di sisi lain, kondisi cuaca yang relatif baik diharapkan tidak menghambat ketersediaan pangan di sejumlah tempat. Sebab, musim panas belakangan adalah yang terburuk selama 60 tahun terakhir dan menyebabkan gagal panen di Ethiopia, Somalia, dan Kenya. Sementara konflik memacu kebutuhan sekaligus menghambat pasokan pangan.