REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dari hasil studi Dekan Kesehatan Global Icahn School of Medicine Mount Sinai New York, Philip Landrigan menjelaskan polusi lingkungan tiga kali lebih membahayakan dibanding serangan AIDS, TBC, dan malaria secara bersamaan. Secara ekonomi, polusi juga merugikan.
Dalam tulisan yang dimuat jurnal kedokteran The Lancet itu, penulis menyebut banyak penelitian sebelumnya yang menggali sebab dan dampak polusi. Tapi yang berbahaya bagi komunitas global bukan hanya polusi, namun juga penyesuaian ekonomi komunitas global yang jauh dari harapan.
''Hingga saat ini, agenda pengendalian polusi masih sangat terfragmen. Karena itu, inti persoalannya jadi tidak diketahui banyak orang,'' kata Landrigan seperti dikutip HuffPost, akhir pekan ini.
Landrigan meneliti tentang efek polutan dengan melibatkan aspek ekonomi. Sebab, menurutnya, tidak berguna penelitian yang tidak memberi solusi dari aspek ekonomi. Polusi akan menguras alokasi subsidi kesehatan dalam anggaran negara dan menahan pertumbuhan ekonomi.
Secara global, polusi udara merupakan penyebab utama kematian prematur di negara-negara berkembang, disusul polusi air dan tanah. Landrigan mengatakan, studi ini menemukan negara berkembang tidak seharusnya merisikokan kesehatan penduduk mereka untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Mengurangi polusi dan penegakkan aturan lingkungan akan membantu meningkatkan kesejahteraan.
Berbeda dengan epidemi, sebab polusi bisa ditelusuri dan ditangani. Pernyataan untuk jadi negara maju maka negara berkembang harus melalui periode polusi tinggi dinilai tidak benar.
Studi ini menyebut, satu dari enam orang meninggal prematur karena polusi pada 2015. Sebanyak 92 persennya terjadi di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Biaya terbuang akibat polusi mencapai 4,6 triliun dolar AS per tahun secara global.
Direktur Pure Earth Richard Fuller mengatakan, masyarakat tidak menyadari polusi berdampak negatif pada ekonomi. ''Orang sakit tidak produktif dan biasanya butuh biaya tambahan untuk perawatan,'' ungkap Fuller.