Sabtu 21 Oct 2017 16:05 WIB
3 Tahun Jokowi-JK

Reforma Agraria untuk Transformasi Sektor Pertanian

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Budi Raharjo
Pekerja menata bawang putih (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja menata bawang putih (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah tengah menyiapkan program reforma agraria seluas 9 juta hektare dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang ditargetkan selesai pada 2019. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, program yang bertujuan untuk pemerataan ekonomi tersebut juga didorong untuk mentransformasi sektor pertanian di Indonesia.

Ia menjelaskan, tanah yang menjadi objek reforma agraria akan diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat dengan sistem kluster. Namun begitu, pemerintah akan mengarahkan agar tanah tersebut digarap untuk menghasilkan produk hortikultura, bukan lagi padi. "Karena kalau produk hortikultura itu sudah pasti hasilnya lebih besar daripada menanam padi," ucap Darmin.

Lagi pula, Darmin meyakini Indonesia sudah swasembada beras. Sudah dua tahun, kata dia, Indonesia tak lagi mengimpor beras.

Menurut Darmin, lahan padi di Indonesia sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Hanya saja, yang masih kurang adalah infrastruktur pendukungnya berupa saluran irigasi dan bendungan. Karenanya, untuk menjaga swasembada beras terus berlanjut, Darmin mengatakan pemerintah masih harus bekerja keras membenahi irigasi dan bendungan serta mempertahankan areal persawahan yang sudah ada agar tak beralih fungsi menjadi properti.

Karena optimistis swasembada beras sudah diraih, maka pemerintah menyiapkan skema transformasi sektor pertanian lewat program reforma agraria. Jutaan hektare lahan baru yang akan dikelola masyarakat nantinya akan diarahkan untuk menghasilkan produk hortikultura. "Masyarakat bisa tanam cabai, bawang, atau buah macam-macam," ujar Darmin.

Indonesia sendiri hingga kini masih mengimpor sejumlah bahan pangan pokok penting, termasuk bawang putih, kedelai, gula dan garam.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut kebijakan wajib serap dan pengendalian harga merupakan strategi yang tengah dijalankan kementeriannya untuk mendukung target swasembada pangan. Ia menjelaskan, wajib serap berlaku bagi semua komoditi yang bisa diproduksi di dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan pihaknya tak memberikan izin impor untuk komoditi yang stoknya dapat dipenuhi produsen lokal.

Selanjutnya, Kementerian Perdagangan mengatur tata niaga sejumlah komoditi lewat instrumen Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk mencegah gejolak harga yang tak menentu. Sejumlah bahan pangan pokok yang telah diatur harganya lewat HET yakni gula, minyak goreng, daging kerbau dan beras.

Enggar mengklaim, kebijakan-kebijakan tersebut telah berhasil menstabilkan harga bahan pangan pokok yang pada akhirnya menjaga daya beli masyarakat. Sepanjang Januari-September 2017, Kemendag mencatat, harga bahan pangan pokok lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun 2016.

Selain itu, Enggar menyebut, stabilitas harga bahan pangan pokok juga telah menekan angka inflasi selama puasa dan lebaran. Tingkat inflasi pada Mei 2017 tercatat sebesar 0,39 persen dan inflasi Juni 2017 sebesar 0,69 persen. "Angka tersebut merupakan terendah selama lima tahun terakhir pada bulan-bulan menjelang puasa dan lebaran."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement