Sabtu 21 Oct 2017 05:07 WIB
3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Sri Mulyani: Ini Sesuatu yang Membingungkan

Rep: sapto andika candra, singgih wiryono, muhammad iqbal/ Red: Budi Raharjo
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berlibur di Labuan Bajo.
Foto: Facebook Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berlibur di Labuan Bajo.

REPUBLIKA.CO.ID,Polemik ihwal daya beli masyarakat juga memantik analisis dari media ekonomi Bloomberg. Dalam artikel bertajuk 'Why Aren't Indonesia Consumers Spending?' yang terbit pada 9 Oktober 2017, Bloomberg melakukan analisis disertai wawancara dengan sejumlah narasumber kompeten.

Indonesia dinilai sedang berada dalam kondisi terbaik dari sisi makro. Tercatat empat juta lapangan kerja baru tercipta, kenaikan upah, dan delapan kali suku bunga acuan Bank Indonesia diturunkan. Semua ini seyogianya mendorong konsumsi di Tanah Air.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Semakin banyak orang yang mencengkeram dompet begitu erat. Uang-uang pun disimpan ke bank. Hal ini membaut bingung para pemangku kebijakan maupun ekonom. "Semua faktor pendukung konsumsi yang diperlukan sudah ada. Ini adalah sesuatu yang membingungkan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Situasi ini juga menghadirkan kebingungan bagi Bank Indonesia. Apalagi, langkah agresif terkait suku bunga acuan telah dilakukan sejak tahun lalu. Tetapi, konsumsi rumah tangga tak dapat tumbuh di atas 5,0 persen.

Ke depan, BI belum tentu bakal melanjutkan langkah ini. Sebab, ada potensi besar menghadang dalam bentuk rencana kenaikan Bank Sentral AS (The Federal Reserve) menaikkan suku bunga acuannya.

Pada sisi lain, Goldman Sachs Group Inc memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5,2 persen. Penyumbang terbesar tentu adalah konsumsi rumah tangga dengan persentase di atas 55 persen terhadap total produk domestik bruto. Akan tetapi, komponen ini hanya tumbuh di bawah 5,0 persen.

"Masalahnya bukan daya beli tapi kepercayaan diri untuk membeli barang-barang tahan lama seperti mobil dan motor. Mereka punya uang tapi mereka tidak mau belanja, terutama masyarakat berpenghasilan menengah ke atas," kata Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual.

Ia menambahkan terdapat beberapa aspek lain yang menghantam daya beli masyarakat. Khususnya untuk menengah ke bawah. Kenaikan tarif listrik hingga penundaan bonus bagi PNS juga berimbas pada kantong konsumen.

Sektor ritel juga menjadi sorotan Bloombeg. Kinerja sejumlah pemain besar seperti PT Matahari Putra Prima Tbk maupun PT Ramayana Lestari Sentosa tidaklah kinclong. Matahari merugi Rp 170 miliar pada semester pertama, sedangkan penjualan Ramayana hanya tumbuh 0,5 persen.

Asisten Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan pemangkasan suku bunga acuan jelas butuh waktu untuk ditransmisikan. "Sinyalnya sudah jelas. Kami ingin ekonomi bergerak lebih cepat," katanya.

Hal lain yang jadi sorotan adalah langkah pemerintah dari sisi perpajakan. Program Pengampunan Pajak memang telah tuntas pada 31 Maret 2017. Akan tetapi, setelah itu, upaya pemerintah mengejar pajak dinilai semakin liat sehingga memengaruhi pola konsumsi. "Kesan yang timbul dari otoritas pajak telah mempengaruhi cara konsumen mengeluarkan uang," kata Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Anton Gunawan.

Pertumbuhan milenial adalah hal yang juga patut dicermati. Karakteristik konsumsi kelompok ini begitu unik. Mereka enggan berbelanja barang tahan lama. Travel jadi pilihan utama.

"Milenial tidak senang mengganti pakaian setiap hari. Mereka ingin memiliki t-shirt yang sama seperti Steve Jobs (pendiri Apple), yaitu hitam. Mungkin mereka hanya memiliki dua potong, saya tidak tahu, tapi mereka tidak berbelanja," kata Sri Mulyani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement