REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa dilepaskan dari proyek-proyek ambisius pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Namun, bagi penggiat lingkungan dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) proyek infrastruktur ini justru membuat catatan minus kinerja Jokowi-JK soal pengelolaan lingkungan dan HAM.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Nur Hidayati menyoroti komitmen pengelolaan lingkungan pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun. Hal itu termasuk di dalamnya soal reforma agraria dan pembangunan infrastruktur. Menurut Walhi yang paling menjadi sorotan Walhi adalah soal ambisi pemerintah membangun infrastruktur. "Seringkali pembangunan infrastruktur ini menghilangkan hak-hak warga masyarakat yang tanah, sumber penghasilan, dan tempat tinggalnya tergusur," katanya dalam diskusi publik 'Evaluasi Kinerja HAM 3 Tahun Pemerintahan Jokowi', Kamis (19/10).
Hal itu di antaranya proyek infrastruktur soal reklamasi, pembangunan pembangkit listrik 35 ribu watt, jalan tol Jawa dan Sumatera, pembangunan pabrik semen di Genteng hingga pembangunan bandara di Majalengka. Proyek reklamasi, misalnya pemerintah memaksakan proyek tanpa ada izin AMDAL dan pertimbangan hak para warga di kampung nelayan dan sumber mata pencahariannya.Kemudian proyek listrik 35 ribu watt dimana sebagian besar PLTU yang dibangun menggunakan batubara, yang sangat besar kerusakan lingkungannya. "Apalagi wilayah wilayah yang menjadi daerahnya adi tambang batubara lingkungannya rusak, sedangkan kebutuhan energi daerah itu tidak menjadi prioritas," ungkapnya.
"Karena proyek 35 ribu watt ini difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan listrik kota-kota besar," ujarnya menambahkan.
Selain itu, masalah juga berasal pembangunan pabrik semen di Genteng, jalan tol dan bandara Kertajati di Majalengka yang merugikan lahan pertanian dan ganti ruginya dipaksakan. "Jadi mega proyek infrastruktur ini untuk siapa? Apakah rakyat atau perusahaan besar," ujarnya.
Kemudian soal program reforma agraria yang dijalankan Jokowi, belum sepenuhnya berjalan. Karena pemerintah saat ini sebatas membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat (prona). Walaupun cara ini memberi kabar gembira bagi petani di tanah air yang sebagian besar adalah petani gurem atau buruh tani.
Akan tetapi, menurutnya reforma agraria bukan sekedar prona. Di dalamnya ada soal distribusi lahan, restitusi hak dan reformasi sistem pengelolaan pengusahaan sumber-sumber agraria. Di lapangan ternyata keberpihakan pemerintah dalam pemenuhan hak hukum dan perlindungan masyarakat masih lemah. "Ketika masyarakat menghadapi kasus hukum di polisi dan pengadilan soal sengketa tanah keberpihakan itu belum terlihat," kata Nur Hidayati.