REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Muamalat Indonesia Tbk menyatakan, proses akuisisi oleh PT Minnad Padi Investama Sekuritas belum rampung. Muamalat masih mempersiapkan segala hal sebelum menerbitkan saham baru melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).
"Sampai saat ini akuisisi masih dalam proses, sehingga belum ada perubahan, baik dari segi manajemen atau lainnya," ujar Direktur Bisnis Korporasi Bank Muamalat Indra Sugiarto Indra saat dihubungi Republika, Ahad, (8/10).
Indra mengaku tak tahu nantinya Minna Padi menggunakan dana sendiri untuk mengakuisisi atau mengajak investor lainnya. "Kalau mengenai hal itu, saya belum terinformasikan," tutur Indra.
Minna Padi sebelumnya telah menyatakan bakal menjadi pembeli siaga dalam HMETD yang akan diterbitkan Muamalat. Minna Padi tertarik membeli 51 persen saham Muamalat dengan menyiapkan dana sekitar Rp 4,5 triliun.
Rencana akuisisi Muamalat oleh Minna Padi mendapatkan sambutan hangat dari banyak pihak. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai Bank Muamalat kini tengah bangkit kembali setelah 25 tahun dikuasai pemegang saham asing.
Ketua Badan Pengurus Pusat Hipmi, Anggawira, menyatakan, momen ini merupakan pendorong majunya perbankan syariah di Indonesia. “Muamalat ini milik kita, umat Islam di Indonesia," kata dia, Ahad (8/10).
Menurut Anggawira, masuknya PT Minna Padi sebagai investor menjadi momentum untuk mendorong Muamalat berkontribusi besar untuk kepentingan umat. Hal itu, kata dia, sekaligus membantah pernyataan dibelinya Muamalat oleh Lippo Group.
"Tidak ada kaitannya sama sekali dengan Lippo Group. Mina Padi ini milik Setiawan Ichlas, pengusaha muda Muslim asal Palembang," tambah Anggawira.
Anggawira yakin Bank Muamalat akan tetap pada khitahnya sebagai sarana perjuangan umat Islam, terutama dalam membangun perekonomian yang berlandaskan syariah, apalagi saat ini didukung oleh penguatan modal.
Dengan bertambahnya modal, kata dia, Bank Muamalat diharapkan dapat membuat terobosan-terobosan inovatif. Muamalat harus bisa menjadi perbankan syariah yang mampu menghadirkan solusi bagi kebutuhan umat.
Anggawira semakin mengapresiasi rencana akuisisi karena Minna Padi akan menaikkan modal Bank Muamalat. Sebab, kata dia, modal inti Muamalat akan bertambah menjadi sekitar Rp 8,1 triliun dari sebelumnya Rp 3,6 triliun. Tambahan modal tersebut juga bisa mendorong Muamalat naik kelas ke bank umum kategori usaha (BUKU) III.
Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia (KCI) Adiwarman Karim menilai aksi korporasi berupa akuisisi merupakan langkah tepat bagi Muamalat. Dia menjelaskan, bila diasumsikan menggunakan strategi penyelamatan bad bank and good bank serta antisipasi pemberlakuan Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) 71 termasuk kepada bank syariah sehingga cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) akan naik 30 sampai 40 persen, maka minimal diperlukan tambahan modal Rp 4 triliun.
"Angka itu membuat bank secara regulasi dapat berjalan. Hal itu bahkan masuk pada bank BUKU III," ujar Adiwarman kepada Republika, Ahad.
Hanya saja, menurut dia, tambahan modal ini belum cukup untuk memulihkan bank menjadi sehat, kuat, dan stabil per Desember 2018. Adiwarman mengatakan, Muamalat perlu tambahan bisnis baru.
Menurut perhitungannya, diperlukan tambahan bisnis baru sekitar Rp 20 triliun pada 2018. Oleh karena itu, yang diperlukan Muamalat bukan sekadar investor baru, tetapi juga strategic investor yang juga dapat membawa tambahan bisnis baru.
"Hal ini supaya good bank bisa segera membuat bank sehat, kuat, serta stabil sampai akhir 2018.
Adiwarman menjelaskan, dari sisi bad bank, postur dan gestur bank yang lebih baik membuat upaya penyehatan pembiayaan bermasalah lebih kredibel. Dengan begitu, tingkat recovery bisa mencapai 50 persen hingga 70 persen. "Dalam beberapa kasus bahkan recovery dapat mendekati 90 persen," tambahnya.
Selain itu, Adiwarman menyatakan, kembalinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pemegang saham merupakan salah satu komponen keberhasilan membangun postur serta gestur bank. Sebagai informasi, selama ini saham MUI di bank Muamalat sangat kecil.
Saham mayoritas bank syariah pertama di Indonesia tersebut dikuasai oleh asing. Sebanyak 32,7 persen saham dikuasai Bank Pembangunan Islam (IDB), sedangkan 19 persen dan 17 persen lainnya dipegang oleh Atwill Holdings Limited serta National Bank of Kuwait.
(Tulisan diolah oleh Satria Kartika Yudha).