Kamis 05 Oct 2017 14:34 WIB

Peran Swasta akan Dipangkas dalam Penyaluran TKI

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nur Aini
Para TKI yang bekerja di Malaysia (ilustrasi).
Foto: Antara/Mika Muhammad
Para TKI yang bekerja di Malaysia (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Pemerintah telah merampungkan RUU revisi dari UU Nomor 39 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Pada aturan baru tersebut, nantinya peran pemerintah daerah lebih menonjol ketimbang perusahaan swasta penyalur TKI.

Menurut Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, pemerintah pusat akan memangkas peranan swasta dalam penjaringan dan penyaluran TKI mulai tahun ini. Selain itu, aturan baru ini bisa mengeliminasi adanya praktik percaloan bahkan penjualan manusia karena penjaringan, penyaluran ada pada kewenangan pemerintah.

"Penyusunan RUU tersebut pada intinya dilatarbelakangi delapan juta TKI di seluruh dunia. Jabar termasuk pemasok terbanyak kedua setelah NTT," ujar Dede kepada wartawan Rabu petang (4/10).

Dede mengatakan, selama ini pihaknya melihat perlindungan terhadap TKI belum maksimal. Oleh karena itu, pemerintah menyusun undang-undang perlindungan TKI ini. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia merupakan revisi UU sebelumnya Nomor 39 tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja TKI.

"Draft sudah selesai tadi malam. Sudah beres tinggal sahkan pada 28 Oktober," kata Dede.

Dede menjelaskan, adanya aturan ini pun mengharuskam dibentuknya tim pengawas TKI (Timwas) yang bertujuan memperbanyak peran pemerintah ketimbang swasta. Karena sekarang, proses pengiriman TKI masih banyak dilakukan swasta, calo, dan berantakan. "Ke depan kita ingin pemda yang berperan, dimulai dari tingkat kota/kabupaten, informasi masuk ke desa, itu yang ada di RUU kita," katanya.

Saat ini, menurut Dede, peran pemerintah dalam penyaluran dan pembinaan calon TKI dilakukan 70 persen oleh swasta. Sehingga, banyak perusahaan penyalur TKI yang dinilai abal-abal dengan memalsukan dokumen TKI dan menyalurkan TKI di bawah umur sehingga jadi human trafficking.

"Tiap tahun ada 50 ribu TKI dari Jabar, di antaranya ada yang nonprosedural," katanya.

Melalui RUU ini, kata dia, peran swasta nantinya akan dibatasi. Mereka, hanya mengambil calon TKI setelah disortir oleh pemda. Swasta tidak bisa lagi turun langsung ke lapangan mencari calon TKI. Swasta hanya boleh ada di tingkat provinsi, tidak sampai di kota/kabupaten. "Semuanya akan diawasi pemerintah," katanya.

Konsekuensinya, kata dia, pemerintah harus memberikan anggaran pelatihan. Selain itu, nanti bakal ada Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang sudah merangkul semua instansi yang berkaitan dengan pemberangkatan TKI seperti Imigrasi, Disdukcapil, Dinkes, Disnaker, dan orang yang mau mendaftar TKI.

"Yang mau daftar TKI dia masuk ke sini (LTSA) bikin dokumen dan dilatih pemda kerja sama dengan LPK," katanya.

Dede melakukan kunjungan ke Gedung Sate karena ingin melihat langkah Pemprov Jabar dalam menekan angka TKI nonprosedural yang jumlahnya sangat besar. Karena, dalam pelaksanaan RUU pun yang penting adalah peran daerah dalam memperkecil peran swasta dan memperbaiki aturan main. Pengiriman TKI hanya ke negara yang memiliki UU perlindungan tenaga kerja asing.

"Kalau kita melanggar nanti ada pidana, termasuk ke pemerintah ya. Kalau lalai, ada sanksinya sampai Rp 13 miliar," katanya.

Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Jabar Ferry Sofwan Arif, dalam RUU ini masuk Layanan Terpadu Satu Pintu, nanti ada pembagian tugas antara provinsi dan kota/kabupaten. Pemprov Jabar akan menyiapkan TKI Center yang akan dibangun tahun depan. Saat ini DED bangunan 7 lantai tersebut sudah disusun. "TKI Center nanti ada layanan administrasi dan juga pelatihan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement