Senin 25 Sep 2017 17:35 WIB

Serikat Pekerja Kecewa Privatisasi Pengembangan Kilang

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Suasana malam di kilang minyak Balongan, Indramayu, Jawa Barat.
Foto: Paramayuda/Antara
Suasana malam di kilang minyak Balongan, Indramayu, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Balongan (SPPBB) mengaku, sangat kecewa dengan adanya upaya pengkerdilan Pertamina dan privatisasi dalam rencana proyek pengembangan kilang. Mereka pun mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah.

 

Adapun tuntutan itu, yakni meminta presiden membatalkan kesepakatan kerja sama proyek pengembangan kilang Refinery Development Master Plan (RDMP) melalui segala mekanisme yang merugikan negara (JV,Inbreng). Selain itu, presiden harus menerbitkan peraturan presiden yang menugaskan pembangunan kilang baru sepenuhnya dilakukan oleh Pertamina sebagai penugasan negara. Dengan demikian, maka Pertamina akan dengan mudah mendapatkan dukungan permodalan.

 

Kementerian Perhubungan juga harus tegas bersikap dengan menunjukkan keberpihakan dan dukungan penuh terhadap perusahaan milik negara (Pertamina) dalam bisnis avtur. Hal itu dengan mensyaratkan jika pihak asing/swasta ingin berbisnis avtur di Indonesia, maka mereka diharuskan membangun kilang untuk mengolah avtur di Indonesia.

 

"Disribusi (avtur milik asing/swasta) pun tidak hanya di daerah-daerah basah saja," tegas Ketua Umum SPPBB Tri Wahyudi didampingi Sekjen SPPBB Wawan Darmawan dan sejumlah anggota SPPBB, saat menggelar jumpa pers di Sekretariat SPPBB KabupatenIndramayu, Senin (25/9).

 

Tri mengatakan, sebagai BUMN pengelola ketahanan energi di NKRI, salah satu tugas Pertamina sejak puluhan tahun lalu adalah menyediakan dan menyalurkan avtur ke seluruh pelosok negeri. Khusus untuk Pertamina RU VI Balongan, bahkan kini telah menyelesaikan proyek BTP Avtur tahap I untuk suplai Bandara Soeta dan Halim Perdana Kusumah.

 

Selain itu, Pertamina RU VI Balongan juga terus berupaya meningkatkan produksi Avtur dengan proyek BTP Avtur tahap II. Hal itu untuk persiapan Bandara Internasional Kertajati guna menjaga suplai dan distribusi avtur demi menunjang ketahanan energi.

 

"Tapi saat ini ada upaya perusahaan asing/swasta dengan dukungan pemerintah untuk melakukan distribusi/berbisnis avtur, tapi hanya dilakukan pada bandara-bandara besar/daerah basah," kataTri. Adapun bandara besar/daerah basahitu di antaranya di Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, Manado, Balikpapan dan Batam.

 

Jika pemerintah tetap membuka danmemberi kesempatan kepada pihak asing/swasta untuk berbisnis avtur hanya pada bandara-bandara basah, maka pemerintah pun harus tidak melarang Pertamina ketika menghentikan bisnis dan penyaluran avtur di bandara-bandara kecil di seluruh NKRI.

 

"SPPBB memandang, ini merupakan usaha para pemburu rente yang terus berupaya mengkerdilkan Pertamina di sektor hulu, distribusi dan hilir, tutur Tri.

 

Di Pengolahan, lanjut Tri, juga"sudah terlihat dimulainya proses unbundling yang tidak sejalan dengan rencana arah pengembangan bisnis migas. Yakni rencana proyek pengembangan kilang/Refinery Development Master Plan (RDMP) dalam bentuk kerja sama pendanaan melalui skema yang menyertakan aset perusahaan sebagai modal (Inbreng, JV).

 

"Atas semua kondisi itu, SPPBB sebagai pekerja pengolahan/kilang menyatakan prihatin, marah dan menolak," tukas Tri.

 

Tri mengungkapkan, aset kilang Pertamina yang 100 persen milik negara akan tergadaikan dan terancam terlikuidasi, jika dilakukan dengan mekanisme kerja sama tersebut. Selain itu, hilangnya entitas Pertamina sebagai kilang milik negara dan beralih pada tangan swasta/asing.

 

Kemandirian Pertamina sebagai BUMN dalam pengelolaan ketersediaan BBM untuk masyarakat juga akan hilang. Ditambah lagi, adanya kepentingan asing/pemburu rente dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang punya peran strategis dalam pemenuhan kebutuhan BBM di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement