Senin 18 Sep 2017 14:55 WIB

Top Up Uang Elektronik Berbayar, BI Dilaporkan ke Ombudsman

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Seorang pengemudi mobil pengguna jalan tol bertransaksi menggunakan kartu elektronik non tunai ketika akan keluar dari tol Belmera Amplas Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/9). Mulai 17 September 2017, PT Jasa Marga akan memberlakukan pembayaran di gerbang tol Belmera seluruhnya secara non tunai dengan menggunakan uang elektronik yang dianggap lebih praktis dan aman.
Foto: Septianda Febrianda/ANTARA
Seorang pengemudi mobil pengguna jalan tol bertransaksi menggunakan kartu elektronik non tunai ketika akan keluar dari tol Belmera Amplas Medan, Sumatera Utara, Rabu (13/9). Mulai 17 September 2017, PT Jasa Marga akan memberlakukan pembayaran di gerbang tol Belmera seluruhnya secara non tunai dengan menggunakan uang elektronik yang dianggap lebih praktis dan aman.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo dilaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia terkait rencana kebijakan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik dan aturan pembayaran 100 persen nontunai di jalan tol. Kedua kebijakan ini dinilai melanggar perlindungan konsumen.

Menurut pelapor, pengacara di bidang perlindungan konsumen David Maruhum L Tobing, kedua aturan ini diduga sebagai bentuk tindakan maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan pada pengusaha serta pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

"Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi konsumen. Rencana BI ini hanya akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha," ujar David saat ditemui di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (18/9).

David menuturkan, keuntungan yang didapatkan pelaku usaha dari kebijakan ini yakni pertama, terciptanya efisiensi pada pengelola jalan tol dan dana pihak ketiga yang diperoleh bank pun meningkat. Kedua, lembaga perbankan yang menerbitkan uang elektronik mendapatkan dana murah dan bahkan gratis karena uang elektronik tidak berbunga. Ketiga, BI secara terang-terangan mendukung rencana pengelola jalan tol yang mewajibkan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik atau e-toll.

"Aturan ini sangat merugikan konsumen karena konsumen harus memakai uang elektronik yang tidak dijamin oleh LPS. Uang elektronik tersebut kalau kartunya hilang, maka saldonya akan hilang," tutur David.

Selain itu, uang elektronik juga tidak memperoleh bunga. Padahal, dana tersebut mengendap di perbankan. Dengan demikian ia menilai dalam hal ini seharusnya yang diterima oleh konsumen adalah insentif dalam pelaksanaan program cashless society, bukan dikenakan biaya top up.

"Sebenarnya transaksi antara pengelola tol ataupun pengusaha lain dengan bank itu adalah transaksi busines to business, yang pengaturannya harusnya sudah jelas antara mereka saja. Dalam hal ini BI tidak perlu ikut campur. Karena kalau ikut campur maka dia akan pro kepada pengusaha," kata David.

Di sisi lain, ia juga menilai konsumen dirugikan karena dipaksa untuk menggunakan uang elektronik. Padahal berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2011 pasal 2 ayat (2), 23 ayat (1), 33 ayat (2). Dalam ketentuan tersebut diatur secara tegas bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahan ya dimaksudkan sebagai pembayaran. Penyelenggaraan ini akan diancam pidana paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

"Kami juga mengirim surat kepada Presiden agar hal ini segera ditindaklanjuti supaya presiden bisa membatalkan niat dari Gubernur BI yang akan menerapkan aturan ini," ujarnya.

Sebelumnya Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pengguna jalan tol untuk membayar tol secara nontunai dimulai pada 31 Oktober 2017 mendatang. Sejalan dengan aturan ini, BI juga akan mengeluarkan aturan untuk pengenaan biaya top up (isi ulang) uang elektronik yang rencananya berkisar antara Rp 1.500- Rp 2.000, dari yang sebelumnya gratis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement