REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir 14 pasal dalam Permenhub 26 tahun 2017 terkait transportasi online membuatnya tidak bisa lagi diatur pemerintah. Menurut Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono, aturan-aturan tersebut tidak bisa lagi dihidupkan oleh pemerintah meski dengan cara membuat peraturan baru.
"Kalau dibuat lagi itu merupakan bentuk pembangkangan terhadap pengadilan dan mencederai prinsip negara hukum," ujar Bayu dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Jumat (15/9).
Sebelumnya, Mahkamah Agung menganulir 14 pasal dalam Permenhub 26 tahun 2017 lantaran dianggap bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Kecil Mikro dan Menengah da, UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Keputusan tersebut sebelumnya dianggap membatalkan berlakunya Peraturan Menteri Perhubungan itu secara keseluruhan. Organisasi Angkutan Darat pun mengklaim bahwa putusan itu menimbulkan kegamangan atas status hukum terkait transportasi online.
Menurut Bayu, pemerintah yang selalu menjunjung tinggi hukum mestinya menaati keputusan MA yang telah menganulir 14 pasal tersebut. Karena itu, dia meminta Menteri Perhubungan tidak lagi menerbitkan aturan yang substansinya sama dengan pasal-pasal tersebut. "Hal itu sesuai dengan asas legalitas dan asas kepastian hukum," kata Bayu.
Selain itu, Bayu juga meminta Menteri Perhubungan sebagai pejabat pemerintahan untuk menaati Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur kewajiban pejabat pemerintah dalam menjalankan tugas kenegaraan. Salah satunya adalah asas kepastian hukum yang mengatur kepatuhan terhadap putusan pengadilan.
"Intinya, bila MA mengabulkan permohonan Judicial Review, maka amar putusan menyatakan materi dalam produk hukum di bawah Undang-Undang itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," ujar Bayu.
Terkait keberadaan moda transportasi online yang dianggap tidak memiliki payung hukum, Bayu menganggap pemikiran tersebut adalah keliru. Sebab, pengaturan untuk transportasi online tetap memiliki payung hukum lantaran MA tidak membatalkan seluruh Permenhub tersebut. Dia berharap agar semua pihak menghormati keputusan MA dan tidak menafsirkan secara serampangan sesuai kepentingannya masing-masing.
"Indonesia negara demokrasi yang berdasarkan hukum, saat penyusunan semua pihak sudah dilibatkan masukan dan pemikirannya. Jadi saat aturan itu diuji dan diputus oleh MA maka perbedaan pendapat harus diakhiri, semua pihak harus menerimanya," kata pakar hukum tata negara tersebut.
Adapun 14 pasal yang dianulir oleh MA secara umum mengatur seputar pengaturan tarif, wilayah operasional, kuota kendaraan operasional, domisili tanda kendaraan bermotor, STNK yang berbadan hukum, dan pengujian Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT). Dengan demikian, Kementerian Perhubungan dianggap tidak perlu lagi merumuskan aturan terkait hal-hal tersebut.