REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat kini dapat menaruh uangnya atau berinvestasi melalui financial technology (fintech). Uang itu nantinya disalurkan ke para peminjam dan dapat menghasilkan imbal hasil cukup tinggi.
Fintech pertanian seperti Tanifund, Crowde, dan lainnya bahkan menawarkan imbal hasil hingga 50 persen. Nilai tersebut tentu lebih besar dibandingkan bunga deposito yang ditawarkan perbankan.
Meski begitu, Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menilai investasi melalui fintech pertanian belum bisa dijadikan instrumen investasi utama bagi masyarakat. Pasalnya, risiko di sektor pertanian cukup banyak, seperti hama, gagal panen akibat curah hujan, kemarau, serta jatuhnya harga akibat oversupply.
"Mungkin tidak banyak investor yang berani dengan pola seperti itu. Setidaknya pada saat ini, tidak semua investor berani ambil risiko tersebut," ujar Eric kepada Republika, Jumat, (15/9).
Kendati demikian, ia tidak memungkiri kalau masuknya fintech ke sektor pertanian dapat memberi damoak positif. Hanya saja, memang butuh waktu.
"Misalnya bisa mulai dari penggunaan pembayaran elektronik bagi koperasi-koperasi dan UKM-UKM yang berhubungan dengan pertanian dan pengolahan produk-produk pertanian," kata Eric.
Ia menambahkan, selama ini sebenarnya penggunaan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk transaksi di sektor pertanian juga bukan hal baru.