Senin 11 Sep 2017 20:26 WIB

BI: Penjualan Ritel Juli 2017 Turun

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Konsumen/ilustrasi
Foto: IST
Konsumen/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) hasil Survei Penjualan Eceran Juli 2017 mengalami penurunan 3,3 persen year on year (yoy) menjadi sebesar 209,9, setelah pada bulan sebelumnya tumbuh 6,3 persen (yoy). Indeks ini diperkirakan akan meningkat pada akhir tahun menjelang periode Natal dan Tahun Baru.

BI menyebutkan, penurunan penjualan eceran pada Juli 2017 sejalan dengan kembali normalnya pola konsumsi masyarakat pasca Ramadhan dan Idul Fitri. Penurunan penjualan ritel terjadi baik pada kelompok makanan maupun kelompok non makanan. Secara regional, penurunan pertumbuhan tahunan IPR terjadi di beberapa kota seperti Semarang, Denpasar, dan Manado.

BI memperkirakan penjualan ritel akan kembali meningkat di Agustus 2017. Hal ini terindikasi dari IPR Agustus 2017 yang tumbuh 5,3 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan penjualan ritel diperkirakan terjadi pada kelompok makanan sebesar 10,4 persen, setelah pada bulan sebelumnya tumbuh -0,3 persen. Pertumbuhan penjualan ritel untuk kelompok non makanan juga akan membaik dari -7,8 persen (yoy) menjadi -1,9 persen (yoy).

Survei mengindikasikan tekanan kenaikan harga di tingkat pedagang eceran tiga bulan mendatang meningkat, dibandingkan bulan sebelumnya. Indikasi tersebut terlihat dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) 3 bulan yang akan datang sebesar 135,5, lebih tinggi dari 133,3 pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, penjualan ritel diperkirakan akan kembali meningkat sejalan dengan peningkatan konsumsi jelang Natal dan Tahun baru.

"Pertumbuhan konsumsi yang masih flat berimplikasi pada belum ada peningkatan kapasitas produksi dari produsen/supplier yang mengindikasikan permintaan kredit juga blm terlalu kuat," kata Josua kepada Republika, Senin (11/9).

Menurut Josua, hal ini terindikasi juga oleh undisbursed loan yang masih relatif tinggi. Oleh sebab itu, ia menilai penurunan suku bunga acuan bulan lalu yang diharapkan akan direspon oleh penurunan suku bunga kredit, sebaiknya juga dikombinasikan oleh stimulus fiskal.

"Stimulus fiskalnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, penyerapan belanja sosial seperti Program Keluarga Harapan dan beras sejahtera perlu dipercepat serta peningkatan efektivitas belanja desa yang diharapkan dapat meningkatkan daya beli," tutur Josua.

Dengan demikian pendapatan riil masyarakat meningkat yang selanjutnya berpotensi mendongkrak permintaan kredit pada akhirnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement