Senin 11 Sep 2017 17:21 WIB

BI Terapkan Tiga Syarat Baru Penerbitan Surat Berharga Komersial

Bank Indonesia
Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengatakan terdapat tiga ketentuan krusial dalam peraturan baru penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial atau Commercial Paper (CP) yang dibuat untuk mencegah kembali terjadinya krisis di pasar keuangan seperti pada 1998.

Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah di Jakarta, Senin (11/9), mengatakan tiga syarat baru ini hanya segelintir dari beberapa ketentuan baru dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tersebut, namun cukup krusial.

Pertama, seluruh perdagangan dan transaksi SBK akan dicatat tanpa warkat atau scriptless trading, melainkan secara elektronik dan diselesaikan dengan pemindahbukuan. "Tahun 1998 banyak SBK yang fiktif, makanya sekarang kami atur scriptless," ujar dia.

Nanang mengatakan salah satu krisis keuangan pada 1998 disebabkan SBK fiktif dan gagal bayar seperti pada SBK yang diterbitkan Garuda Indonesia, Hutama Karya, Kertas Leces, Istana Karya.

Kedua, Nanang mengatakan BI mewajibkan penerbit SBK yakni korporasi non-bank harus memiliki peringkat yang ekuivalen layak investasi (investment grade). Peringkat (rating) ini untuk menjaga kepercayaan investor dengan menjamin tata kelola penerbitan serta transaksi SBK yang baik.

"Pada 1998, belum ada ketentuan mengenai syarat peringkat ini," ujar dia.

Kepastian peringkat tersebut, ujar Nanang, diharapkan dapat meningkatkan aliran investasi untuk pasar SBK domestik. Sebelum 1998, peran lembaga pemeringkat dalam tata kelola instrumen pasar uang tidak optimal. Hal itu juga yang mempengaruhi keputusan investasi dari penanam dana.

Ketiga, kata Nanang, dalam tata kelola transaksi, BI juga mewajibkan minimal pembelian SBK oleh investor sebesar Rp500 juta atau satu juta dolar AS, atau ekuivalen dalam nominal valuta asing yang lainnya. Hal ini untuk menjaga agar transaksi SBK dilakukan oleh investor menengah ke atas, karena memang karakteristik instrumen ini idak ditujukan untuk investor ritel.

Sedangkan penerbitan minimal nilai SBK-nya oleh korporasi sebesar Rp 10 miliar atau satu juta dolar AS atau ekuivalen dalam valuta asing lainnya. "Karena ini memang lebih untuk pendanaan wholesale funding, bukan ritel," ucapnya.

BI baru saja menerbitkan Peraturan BI (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK Komersial di Pasar Uang. Dengan terbitnya peraturan transaksi SBK, maka Surat Keputusan Direksi BI Nomor 28/52/KEP/DIR tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan SBK dicabut.

Nanang menjelaskan dalam PBI tersebut, BI juga mencatumkan banyak peraturan dari sisi penerbit, untuk menjaga kepercayaan investor. Misalnya, syarat untuk penerbit harus korporasi emiten saham pada Bursa Efek Indonesia, atau pernah menerbitkan obligasi atau sukuk yang dicatat di BEI dalam lima tahun terakhir.

Jika tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik, korporasi penerbit harus beroperasi paling singkat tiga tahun atau kurang dari tiga tahun sepanjang memiliki penjaminan atau penanggungan. Kemudian, memiliki ekuitas paling sedikit Rp50 miliar dan menghasilkan laba bersih untuk satu tahun terakhir.

BI juga mengatur kriteria SBK yang dapat diterbitkan, kewajiban penerbit SBK untuk mendaftarkan rencana penerbitan SBK ke BI, prinsip-prinsip keterbukaan informasi mengenai korporasi penerbit, prinsip-prinsip dalam penawaran SBK dan prinsip-prinsip dalam penerbitan dan penatausahaan SBK.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement