Kamis 24 Aug 2017 19:22 WIB

Pemerintah Diminta Tegas kepada Freeport

Tambang PT Freeport
Foto: antara
Tambang PT Freeport

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta tegas terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI). Pasalnya, perusahaan asal Amerika Serikat ini dinilai hanya mementingkan kepentingan perusahaan dibandingkan kepentingan Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam di Freeport.

“Freeport harus mengikuti aturan di Indonesia. Peraturan Pemerintah tegas menyatakan bahwa divestasi 51 persen merupakan bagian dari syarat perpanjangan kontrak. Pemerintah jangan sampai melanggar aturan yang telah dibuatnya sendiri,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara dalam keterangannya, Kamis (24/8).

Sebelumnya, Juru Bicara Freeport Riza Pratama mengatakan antara Pemerintah dan Freeport belum ada kesepakatan tentang hal tersebut karena persoalan divestasi termasuk dalam satu paket poin negoisasi. "Seperti yang pernah kami sampaikan sebelumnya, semua poin dalam negosiasi adalah satu paket kesepakatan. Divestasi adalah salah satu dari 4 poin negosiasi," ujar Riza.

Riza mengatakan proses perundingan masih terus berlangsung dan melibatkan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. "Soal skema masih dalam tahap perundingan. Kita masih terus melakukan proses negoisasi," ujar Riza.

Ia menyatakan belum tercapai kesepakatan dengan pemerintah Indonesia menyangkut divestasi 51 persen saham. Hal ini berseberangan dengan pernyataan dari Menteri ESDM Ignatius Jonan yang menyatakan Freeport telah bersepakat melepas 51 persen sahamnya ke Indonesia.

“Bantahan itu hanya upaya untuk melindungi saham Freeport di bursa New York tidak semakin terpuruk. Bila divestasi batal dan pemerintah Indonesia tidak memperpanjang kontrak kerja yang selesai tahun 2021, saham Freeport juga akan semakin jatuh,” kata dia.

Pada 23 Agustus, saham Freeport di NYSE bergerak di 14,98 dolar AS per lembar saham. Saham Freeport pernah anjlok ke posisi 14,08 dolar AS per lembar saham pada 18 Agustus, ketika isu divestasi kembali mengemuka.

Freeport lalu menolak divestasi dan memaksakan sejumlah poin dalam perpanjangan kontrak dengan mengacu pada kontrak karya yang berlaku sebelumnya. "Freeport ini sangat memikirkan pergerakan saham. Jika saham jatuh tentu nilai perusahaan juga akan semakin ambruk," kata dia. Saham Freeport sendiri pernah mencapai rekor tertinggi di level 62,09 dolar AS per lembar saham di 16 Mei 2008.

Menurut Marwan, dalam divestasi Freeport, pemerintah harus bisa tegas terutama terkait dengan smelter dan juga kepastian pemasukan dari sektor tambang. Jangan sampai, tarik ulur negosiasi itu menguntungkan Freeport.

Pemerintah juga diminta tidak gegabah setelah menggenggam 51 persen saham Freeport. Termasuk melakukan divestasi lanjutan melalui penjualan saham ke publik dengan skema IPO. Jika hal ini yang ditempuh, Freeport bakal menjadi pengendali perusahaan mengingat mereka masih menguasai 49 persen saham.

Dalam banyak kasus, proses divestasi dengan skema IPO justru menjadi jalan bagi pemilik lama untuk menguasai kembali aset-asetnya yang sudah lepas. Ini biasanya dilakukan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan terafiliasi untuk masuk dan menguasai saham IPO.

"Konyol jika pemerintah kembali melakukan IPO dan pemegang saham kembali dikuasai Freeport," imbuh dia.

Marwan juga mengingatkan agar smelter yang dijanjikan Freeport benar-benar terwujud. Sehingga akan mendorong penerimaan negara dari pajak dan juga royalti dari penambangan di tambang Papua tersebut.

"Seluruh rakyat Indonesia akan mendukung upaya pemerintah untuk menguasai sumber daya alam negeri ini untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan untuk mengerek harga saham perusahaan perusahaan asing,” ujar Marwan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement