REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu menurunnya daya beli masyarakat menyebabkan timbulnya spekulasi penyebab bahwa transaksi daring mulai menggeser transaksi konvensional. Namun, di Indonesia, antara bisnis daring dan non-daring justru tidak selalu berhadap-hadapan.
Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra menyebutkan, hubungan antara moda daring dan non daring di Indonesia merupakan salah satu karakter ekonomi yang menarik.
"Di Indonesia ternyata O to O (online to offline) bagus sekali. Jadi complementary (saling melengkapi)," ujar dia di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/8).
Karaniya menambahkan, keadaan ini menunjukkan jika bisnis dan transaksi daring tidak selalu saling membunuh. Dia mencontohkan, beberapa usaha di Indonesia bisa menerapkan kerja sama yang baik antara bisnis dengan moda transaksi daring dan konvensional.
"Bila dilihat dari proporsi moda pembayaran, termasuk Gojek online to offline bagus sekali, jadi teman-teman ini bekerja sama dengan indomaret, alfamart dan lain sebagainya," katanya.
Dengan demikian, ini membuktikan jika sinergi kerja sama antara usaha daring dan konvensional bisa terjadi. Bahkan, dapat menjadi simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.
Meski demikian, Karaniya tidak memungkiri jika antara bisnis daring dan non-daring juga kerap berhadapan satu sama lain. Dalam hal ini, menurut Karaniya tampaknya bisnis daring dengan moda e-commerce lebih unggul, misalnya dalam retail. "Dua pelaku retail konvensional bila di-combine hampir sama dengan batas bawah para pelaku daring dengan e-commerce," kata dia.
"Namun, yang terjadi di Indonesia unik, di sebagian area memang terjadi hadap hadapan, tapi di sebagian lain saling memperkuat," kata dia.