REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah selalu berupaya mengelola dana pinjaman dengan bertanggung jawab, baik dari sisi total defisit, jumlah utang yang diperbolehkan undang-undang, maupun peruntukannya.
"Pinjaman dilakukan dengan tingkat yang dijaga hati-hati sehingga tidak mengancam kesehatan keuangan negara itu sendiri dan diperuntukkan untuk mendanai kegiatan-kegiatan produktif," ujar Sri Mulyani usai menjadi pembicara dalam acara Supermentor ke-20 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Selasa malam (25/7).
Menkeu menjelaskan bahwa tambahan penerimaan negara yang berasal dari pinjaman diupayakan untuk mendanai pembangunan di antaranya pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi kepada masyarakat miskin. Selain investasi untuk sumber daya manusia, dana pinjaman juga dimanfaatkan untuk menunjang infrastruktur dan akses bagi sektor-sektor unggulan seperti pariwisata.
"Saya berinvestasi untuk aksesibilitas di Labuan Bajo yang pada 2015 hanya disinggahi 24 kapal pesiar, kini baru bulan Juli 2017 sudah didatangi 42 kapal pesiar. Ini kan kegiatan ekonomi produktif yang hasilnya bisa untuk membayar kembali utang kita," tutur Sri Mulyani.
Meskipun menilai posisi utang Indonesia tidak cukup buruk dengan rata-rata defisit APBN sekitar 1,6 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen dalam sepuluh tahun terakhir, Menkeu tetap meminta masyarakat aktif mengontrol setiap kebijakan termasuk belanja pemerintah. "Kita harus membelanjakan APBN dengan benar karena itu adalah uang anda. Anda harus peduli seberapa besar uang tersebut dibelanjakan dan untuk apa saja," tutur Sri Mulyani.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pusat sampai Juni 2017 mencapai Rp 3.706,52 triliun, yang dimanfaatkan untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di berbagai sektor.
Laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang dipantau Selasa, menyatakan porsi utang sebesar Rp 3.706,52 triliun itu terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 2.979,5 triliun atau 80,4 persen dan pinjaman Rp 727,02 triliun atau 19,6 persen. Posisi utang pemerintah pusat pada Juni 2017 ini mengalami peningkatan secara neto sebesar Rp 34,19 triliun, dibanding bulan sebelumnya, yang berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 35,77 triliun dan pelunasan pinjaman sebesar Rp 1,59 triliun.
Secara keseluruhan, penambahan utang neto pada periode Januari-Juni 2017 adalah sebesar Rp 191,06 triliun, yang berasal dari penerbitan SBN Rp 198,89 triliun dan pelunasan pinjaman Rp 7,83 triliun. Tambahan pembiayaan utang ini memungkinkan adanya kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial. Selain itu, pemerintah memiliki komitmen secara berkesinambungan dalam hal pembayaran kewajiban utang sebagai konsekuensi pembiayaan defisit APBN tahun berjalan dan periode sebelumnya.