Kamis 20 Jul 2017 22:00 WIB

Daya Beli Menurun Berimbas pada Sektor Properti

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Dwi Murdaningsih
 Pengunjung melihat maket perumahan dalam pameran properti Real Estate Indonesia di Jakarta, Rabu (19/4).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pengunjung melihat maket perumahan dalam pameran properti Real Estate Indonesia di Jakarta, Rabu (19/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ekspansi kredit properti yang disalurkan perbankan tertahan sejak 2014 dan pertumbuhan sektor properti setiap tahunnya cenderung melambat. Direktur GMT Properti Sunardjaja Tjitjih mengatakan peraturan pemberian kredit properti dan penurunan daya beli masyarakat yang membuat permintaan terhadap kredit properti mengalami pelambatan. Bisnis properti yang sedang kurang bergairah tersebut menjadi perhatian banyak pihak, termasuk kalangan perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

"Properti merupakan salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Di dalam sektor properti setidaknya ada 135 sektor turunan yang memengaruhi ekonomi masyarakat," kata Sunardjaja melalui siaran pers, Kamis (20/7).

Marx Andryan dari Marx & Co menjelaskan, naiknya kebutuhan biaya hidup mengakibatkan masyarakat lebih menyimpan uang atau berinvestasi pada produk mata uang asing atau produk perbankan lainnya daripada sektor properti. Dampak dari turunnya minat masyarakat untuk membeli produk property mengakibatkan para pelaku usaha di bidang properti mengalami kesulitan untuk menjual produknya, sehingga mengakibatkan gagal bayar (non performing loan).

Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya para pelaku bisnis, kadang timbul persoalan saat debitur yang memiliki kemampuan bayar yang rendah dan tidak berpengalaman dalam mengelola plafon fasilitas kredit, kesulitan melakukan pembayaran cicilan dan bunga yang terus bertambah, akibat perubahan kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak menentu.

Di lain pihak, tidak dimungkiri bahwa sumber pembiayaan properti pelaku usaha merupakan pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya, yang memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi.

"Biasanya pihak kreditur mendesak  untuk menyelesaikan pembayaran kredit tersebut, jika tidak bisa mencari penyeleasaian maka berakibat pada sengketa berupa penyitaan atau proses peradilan," ujar Andryan

Namun, berdasarkan data yang diperoleh pada Kuartal I 2017, pertumbuhan kredit di sektor properti mengalami kenaikan 15,2 persen. Hal ini sejalan dengan data Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan kredit perbankan yang juga mengalami pertumbuhan 9,1 persen.

Dari data uang beredar BI, penyaluran kredit properti per Maret 2017 tercatat Rp 719 triliun atau tumbuh 15,2 persen lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 15 persen. Peningkatan ini bersumber dari penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang menjadi 8,4 persen dibandingkan Februari 7,4 persen.

Guna menggenjot industri properti, selama tahun 2016 dan 2017, sebenarnya pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong bangkitnya industri properti. Contohnya, pada bulan September tahun 2016, Suku Bunga Acuan Bank Indonesia turun menjadi lima persen (7), diharapkan dengan penurunan ini akan mendorong permintaan akan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Tidak hanya itu, Bank Indonesia, pada Agustus 2016 juga melakukan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang tadinya 20 persen menjadi 15 persen untuk rumah pertama.  Bank Indonesia juga telah menurunkan LTV untuk rumah kedua dan rumah ketiga dengan rasio DP masing-masing 20 dan 25 persen. Sebelumnya rasio DP untuk KPR rumah kedua dan ketiga sebesar 30 dan 40 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement