REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti masalah ketimpangan di sektor keuangan, khususnya peran intermediasi perbankan yang dianggap belum optimal kepada sektor riil.
"Saat sektor riil menurun, sektor keuangan malah tumbuh," kata Direktur Indef Enny Sri Hartati dalam seminar nasional bertajuk "Mengurai Solusi Ketimpangan" di Jakarta, Rabu (19/7).
Di saat sektor riil mengalami penurunan pertumbuhan, sektor jasa keuangan memang mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Sebagai contoh pada kuartal II-2016, industri pengolahan hanya tumbuh 4,6 persen (yoy) dan pertanian tumbuh 3,4 persen (yoy), sementara jasa keuangan justru mencatat rekor tumbuh di atas 13,5 persen.
Hal tersebut, kata Enny, mengindikasikan bahwa pertumbuhan jasa keuangan dan sektor riil tidak berkorelasi positif. Jurang antara sektor riil dan sektor keuangan terjadi karena profil risiko sektor riil cenderung lebih besar, sementara perputaran uang sangat lama.
Di sektor keuangan sendiri, instrumen seperti deposito dan surat utang menawarkan imbal hasil yang tinggi dengan risiko rendah. Investor akhirnya lebih memilih investasi di sektor keuangan.
Selain itu, ketimpangan juga terlihat dari sisi simpanan perbankan dimana 97,9 persen rekening hanya menguasai 14,04 persen total simpanan, sementara 0,04 persen rekening menguasai 46,99 persen total simpanan. "Persoalannya, ternyata separuh simpanan di perbankan kita hanya dimiliki oleh 0,04 persen pemilik rekening tersebut," ujar Enny.
Enny mengatakan, besarnya ketimpangan simpanan sendiri berkaitan dengan preferensi perbankan dalam memberikan bunga ke nasabah kakap, salah satunya melalui suku bunga deposito spesial atau special rate. Sementara itu, bagi nasabah kecil dari latar belakang masyarakat berpenghasilan rendah diberikan bunga yang rendah ketika menabung.
Program Laku Pandai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga diinilai berkontribusi terhadap akumulasi simpanan di sekelompok orang kaya perkotaan. Program tersebut menyedot uang dari desa dan dialokasikan ke korporasi besar di perkotaan. Pada akhirnya, kebutuhan masyarakat akan kredit di desa menjadi terbatas dan kembali lagi ke pola rentenir yang menyebabkan sebagian masyarakat miskin desa terlilit utang. "Harus ada upaya-upaya mendorong peran sektor keuangan menjadi lembaga intermediasi yang konkrit untuk mendorong sektor riil," kata Enny.