Rabu 19 Jul 2017 07:03 WIB

Ini Alasan PPN 10 Persen Beratkan Petani

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Petani tebu  (ilustrasi)
Foto: Antara
Petani tebu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Forum Komunikasi Dewan Komoditas Perkebunan (FKDKP) mendesak pemerintah menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) sepuluh persen tidak hanya pada tebu saja namun juga dengan komoditas perkebunan. Ketua Umum FKDKP, Aziz Pane mengungkapkan PPN untuk komoditi perkebunan jelas-jelas memberatkan petani rakyat.

Dia menjelaskan, secara teori memang PPN tersebut tidak akan memberatkan petani kerena menurut aturan PMK No. 197 Tahun 2013 adanya pengecualian untuk petani yang bisa tidak terkena pajak. Dalam aturan tersebut, petani kecil yang omzetnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun tidak wajib dikenakan PPN.

Hanya saja menurutnya, ada alasan lain mengapa PPN tersebut sebenarnya tetap memberatkan petani. “Pada peraktiknya para pedagang atau pengumpul itu kan umumnya membebankan pungutan PPN sepuluh persen ini kepada para petani dengan mengurangi harga beli mereka,” kata Aziz di Kantor Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gap]kindo), Selasa (18/7).

Pada akhirnya, kata Aziz, para petani rakyat tetap menjadi korban meski omzetnya masih di bawah Rp 4,8 miliar pertahunnya. Tak hanya itu, PPN juga menjadi beban tambahan bagi industri pengolahan komoditi primer.

Dia menjelaskan, beban tersebut muncul karena industri harus menyediakan modal kerja sepuluh persen lebih besar dari biasanya. “Ini jadi berakibat adanya pengeluaran tambahan berupa beban bunga karena umumnya modal kerja itu berasal dari kredit bank,” jelas Aziz.

Selain itu, Ketua Gapkindo Moenarji Soedargo mengatakan hasil proses pengelolaan atas komoditi perkebunan itu sebagian besar untuk diekspor dengan PPN nol persen. Dia menuturkan hal itu menyebabkan setiap bulannya akan terjadi PPN lebih yang tertahan di negara berbulan-bulan.

“Ini kan menyebabkan industri juga harus menyediakan ekstra modal kerja lagi agar kapasitas tidak menurun  dan pada akhirnya harus membayar ekstra beban bunga yang lebih besar lagi,” jelas Moenarji.

Moenarji juga merasa dengan adanya PPN sepuluh persen yang memberatkan petani akan berdampak kepada barang yang akan diekspor oleh Indonesia. Kalau petani terpuruk, lanjut Moenarji, maka para pengusaha ekspor juga akan kesulitan untuk medapatkan barang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement