Selasa 18 Jul 2017 14:06 WIB

Ketimpangan Yogya Tertinggi, Ekonom: Akibat Banyak Mal

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Petugas dari Dinas Kebudayaan DIY melakukan pemotretan 360 derajat bangunan Tugu Pal Putih, di Yogyakarta, Rabu (16/3)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas dari Dinas Kebudayaan DIY melakukan pemotretan 360 derajat bangunan Tugu Pal Putih, di Yogyakarta, Rabu (16/3)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah diingatkan untuk mengendalikan laju pembangunan di Yogya yang dinilai 'liar' agar bisa manfaatnya bisa dirasakan kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Alasannya, manfaat ekonomi atas pembangunan yang ada saat ini, termasuk pesatnya pembangunan pusat perbelanjaan atau mal dan hotel, hanya menyasar kelompok menengah ke atas dan para pendatang 'kaya'.

Apalagi, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka ketimpangan ekonomi yang diwakili oleh gini ratio dengan mengukur tingkat pengeluaran penduduk. Hasilnya, angka rasio gini Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan yang tertinggi se-Indonesia, yakni 0,432. Angka ini jauh di atas angka rasio gini nasional sebesar 0,393.

Yogya mengungguli delapan provinsi lain yang memiliki angka ketimpangan di atas rasio gini nasional. Kedelapan daerah tersebut adalah Gorontalo dengan angka ketimpangan 0,430, DKI Jakarta dengan 0,413, Sulawesi Selatan dengan 0,407, Jawa Barat dengan 0,403, Papua sebesar 0,397, Jawa Timur sebesar 0,396, Sulawesi Utara dengan gini ratio 0,396, dan Sulawesi Tenggara dengan 0,394.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, angka ketimpangan pengeluaran yang terlampau tinggi di Yogya merupakan dampak dari pembangunan di Yogya yang terbilang masif. Pembangunan hotel dan mal di Yogya dinilai hanya memfasilitasi kelompok ekonomi menengah ke atas. Sementara kelompok ekonomi terbawah tidak mengubah gaya hidupnya yang sederhana. Artinya, saat kalangan ekonomi mampu di Yogya mulai mengikuti gaya hidup mereka ala kota-kota besar lainnya di Indonesia, sebagian lagi masyarakat bawah mempertahankan gaya hidupnya yang seadanya.

"Tata ruang di Yogya liar sekali. Izin hotel dan mal mudah didapat. Padahal lahannya diperuntukkan persawahan. Ada serbuan juga oleh pendatang kaya," ujar Bhima,  di Jakarta, Selasa (18/7).

Bhima mengingatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk memperhatikan fenomena yang kini terjadi di Yogya. Rasio gini di Yogya juga terbilang meningkat cukup cepat. Tahun lalu, rasio gini Yogya masih berada di level 0,420. Sementara ketimpangan ekonomi di kota terjadi lebih parah dibanding di desa. Ketimpangan perkotaan di Yogya tercatat sebesar 0,435, naik dari 0,423 di September tahun lalu.

Sejumlah solusi ditawarkan kepada pemerintah. Pertama, kata Bhima, pemerintah didesak untuk mengendalikan harga tanah dari permainan spekulan. Alasannya, harga properti yang mahal nenjadi sulit dijangkau warga asli Yogya terutama dari kelompok miskin. Sementara itu, kondisi saat ini hunian di perkotaan Yogya lebih dinikmati oleh para pendatang dari kelompok kaya.

"Instrumen pengendalian harga salah satunya dengan memberikan denda yang tinggi bagi pemilik lahan sawah yang mengkonversi jadi bangunan," kata dia.

Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengakui kondisi di Yogya terbilang unik. Unik, lantaran pola konsumsi di Yogya yang terkait dengan pola hidup sederhana dan hemat oleh sebagian besar masyarakatnya. Penjelasannya, kelompok masyarakat ekonomi bawah di Yogya cenderung memiliki kebiasaan berhemat. Tak hanya ekonomi bawah, sebagian masyarakat Yogya juga terkenal hemat dan tidak membelanjakan uang secara berlebih. "Pola konsumsi yang unik di Yogya. Lapisan bawah, orang Yogya itu lapisan bawahnya konsumsinya sangat hemat," ujar Sairi.

Sementara itu, BPS mengukur ketimpangan dari sisi pengelurannya. Artinya pengeluaran masyarakat Yogya yang hemat diadu dengan konsumsi sebagian masyarakat Yogya ekonomi menengah ke atas yang mulai konsumtif. Meski Sairi mengelak hal ini berkaitan dengan pembangunan infrastruktur di Yogya yang terbilang pesat, ia menilai bahwa fenomena ini lebih karena watak masyarakat Yogya yang "berhemat". "Kalau rumah tangga miskin sangat hemat, jelas. Sedangkan konsumsi lapisan atas mengikuti kita-kita semua. Jadi gap-nya memang jauh dan tinggi," katanya.

Secara kultur, Sairi juga menyinggung adanya kearifan lokal dan budaya Jawa seperti puasa mutih. Puasa yang dilakukan dengan hanya mengkonsumsi nasi putih dan air putih ini, membuat sisi pengeluaran rumah tangga penduduk di Yogya juga menjadi minim. BPS melihat Yogya memiliki keunikan dari sisi sosial dan budaya yang membuat angka ketimpangan menjadi begitu tinggi. Bukan semata karena jarak antara si kaya dan miskin begitu jauh, namun ada faktor budaya di dalamnya.

Istimewanya, meski rasio gini masyarakat Yogya terlampau tinggi dibanding daerah lain di Indonesia, namun indeks kebahagiaan masyarakat Yogya diakui tertinggi di Indonesia. Sairi menyebutkan, Yogya bersanding dengan DKI Jakarta sebagai daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia.  "Namun di sana kalau diukur dengan indikator lain, orang Yogya jauh lebih bahagia dibanding daerah lain, walaupun miskin," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement