REPUBLIKA.CO.ID, Yanih mulai nganyam samak (tikar pandan) dari 1991. Awalnya ia disuruh orang tua belanja pandan. Lanjutnya ia belajar sendiri, cara menganyam.
"Gimana biar bikin garisnya lurus kalau pakai sipuhan pandan,” ujar Yanih.
Yanih sudah bergabung dengan Amartha lebih dari lima tahun. Selama bergabung ia merasa memiliki banyak keuntungan lewat kemudahan dalam mengakses modal untuk usahanya. Melalui menganyam samak ia dapat menambah penghasilan suami dan berkontribusi untuk menambah pemasukan keluarga.
Ketika pertama kali mengenal Amartha, Yanih langsung tertarik bergabung. Ia berpikir dengan mendapat kemudahan modal, usahanya bisa lancar. “Petugas Amartha datang untuk survey rumah saya dan usaha saya. Ditanya macem-macem, banyak, sampe bosen jawabnya. Saya tunjukin saja samak yang masih saya anyam. Minggu depannya petugas datang lagi ngasih saya bantuan modal usaha untuk bikin samak. Awalnya doang sih Amartha ribet, tapi selanjutnya mah enak-enak saja. Petugas juga ramah-ramah,” ujar Yanih.
Sebelum mengenalkan Amartha ia mengaku meminjam modal usaha dari tetangga. Saat itu, 2012, harga pandan (bahan baku samak) masih murah, Rp 2.500 per ikat. Ia butuh delapan hingga sepuluh untuk membuat satu samak. Kini dengan harga pandan seikatnya Rp 6.000, otomastis modalnya lebih besar, tetangganya tidak lagi bisa meminjamkan dirinya untuk modal.
Pembiayaan dari Amartha sangat membantu untuk membeli harga pandan yang sudah naik. Pembiayaan pertama diperoleh Yanih sebesar Rp 500 ribu untuk modal pandan. Pembiayaan kedua dua juta rupiah masih untuk menambah modal pandan. Pembiayaan selanjutnya masih ia gunakan untuk menambah modal pandan.
Kini pembiayaanya masuk putaran kelima sebesar empat juta rupiah, yang ia gunakan untuk pandan dan menambah biaya pendidikan anak. “Sekarang, Alhamdulillah saya bisa nambah-nambah penghasilan suami, buat nambah-nambah biaya hidup, bayar sekolah anak, bayar listrik, renovasi rumah. Amartha ngasih saya jalan untuk usaha lebih. Amartha sudah bikin usaha saya lancar,” ujar Yanih.
Yanih merupakan sosok yang tak mengenal kata lelah. Ia terbiasa menghabiskan waktu lebih kurang tiga belas jam seharinya untuk menganyam samak. Biasanya ia mulai menganyam dari pukul 10.00 WIB, selepas menunggu anak di sekolah, hingga pukul 17.00 WIB. Dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB hingga 22.00 atau 23.00 WIB sambil berbincang-bincang dengan suami. Di pukul 03.00 dini hari ia bangun dan mulai lagi menganyam hingga pagi, tanpa tidur lagi.
Yanih dan samak anyamannya
Hal tersebut ia lakukan setiap harinya. Satu samak bisa menghabiskan empat hingga lima hari. Omzet menganyam samak setiap sepuluh harinya berkisar Rp 300 ribu (dari hasil menjual dua samak). Dikurangi modal delapan hingga sepuluh ikat pandan, keuntungan yang diperoleh Yanih adalah Rp 180 ribu atau rata-rata harian Rp 18 ribu.
Penghasilannya memang tidak besar, tetapi ia bisa memberikan ongkos sekolah kedua anaknya setiap hari. Yanih juga menjelaskan dirinya tidak pernah lagi berhutang dari tetangga. Dari pembiayaan Amartha, ia tidak langsung menghabiskan melainkan ia simpan sehingga ketika butuh modal bisa digunakan.
Yanih pernah mengaIami masa sulit, ia terjatuh dari motor hingga kepayahan berjalan. Hal tersebut menyebabkan Yanih tidak bisa belanja pandan yang letaknya jauh di daerah Sasakan. Di fase itu, ia tidak lantas berpangku tangan. Ia memilih mengerjakan manih-manik (mute) milik orang lain. Namun usaha mute bukanlah yang ia pilih karena pemasukannya sangat sedikit, sehari ia hanya bisa mendapatkan Rp 2.000 dari mute.
Berjuang untuk Keluarga
Dengan pekerjaan suami sebagai buruh bangunan, tentu Yanih merasa perlu untuk membantu keuangan keluarga. Ia tidak menghitung-hitung pengeluarannya berasal dari suami atau dirinya, menurut Yanih suami-isteri harus sependapat, susah senang ditangggung bersama, termasuk keuangan. Ada fase dimana suaminya menanggur karena buruh bangunan memang tidak selamanya mendapatkan proyek. Dari hasil samak Yani menceritakan, bisa membantu keuangan keluarga.
Dua dari empat anaknya masih sekolah. Anak ketiganya masih mengenyam pendidikan di tingkat satu Sekolah Menengah Atas (SMA), sementara si bungsu masih di Sekolah Dasar (SD). Sementara dua anak perempuannya sudah menikah dan ikut suami ke Jakarta. Tapi meski sudah menikah, mereka masih membutuhkan bantuan dalam kehidupan perekonomiannya.
Terbukti saat anak pertamanya melahirkan, Yanih masih perlu turun tangan menyambung dana persalinan. Impiannya kini sederhana, ia berharap dengan bergabung bersama Amartha ekonomi keluarganya bisa naik,
tidak mengalami kesulitan modal. Ia juga berharap pembiayaan Amartha dapat membantunya mengantar anak ketiganya hingga lulus SMA dan menjadi mandiri.