Ahad 21 May 2017 18:48 WIB

Pemerintah Diminta Lindungi Nasabah dari Penyelewengan Data

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Indira Rezkisari
Pengunjung Islamic Book Fair (IBF) 2017 tengah mengisi aplikasi pembukaan rekening di booth Bank Syariah Mandiri (BSM) di IBF JCC Senayan, Jakarta, Kamis (4/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pengunjung Islamic Book Fair (IBF) 2017 tengah mengisi aplikasi pembukaan rekening di booth Bank Syariah Mandiri (BSM) di IBF JCC Senayan, Jakarta, Kamis (4/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta secara tegas mengatur protokol untuk mengatur perlindungan data nasabah dari penyelewengan data oleh petugas pajak yang tidak bertanggung jawab. Langkah ini menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, di mana rekening dengan saldo di atas Rp 3,3 miliar untuk wajib pajak di luar negeri dan Rp 500 juta untuk kepentingan pajak di dalam negeri bisa diintip oleh otoritas pajak.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan, kewenangan yang besar untuk mengakses data (transparansi) harus diimbangi dengan akuntabilitas, yaitu klausul “confidentiality and data safeguard” yang menjamin perlindungan data nasabah atau wajib pajak dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition). Untuk itu, menurutnya, perlu jaminan bahwa klausul ini akan dimaksukkan dalam revisi UU KUP dan UU Perbankan (regulasi), pengembangan sistem teknologi informasi termasuk SOP dan pengawasan internal yang ketat.

"Dan sanksi yang berat bagi pejabat atau pegawai yang melakukan pelanggaran," ujar Yustinus melalui siaran pers, Ahad (21/5).

Yustinus juga menjelaskan, Perppu ini mengatur kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik) dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Sementara lembaga jasa keuangan – meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan – secara berkala wajib menyampaikan laporan yang berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.

Yustinus juga mendukung parlemen untuk mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2017 menjadi Undang-undang karena memenuhi unsur dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time. DPR dan Pemerintah , lanjut Yustinus, juga perlu segera merevisi UU terkait, khususnya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan UU Perbankan, agar dapat mendukung inisiatif global dan reformasi perpajakan yang sedang dijalankan Pemerintah.

"DPR juga diharapkan terus menjalankan fungsi kontrol terhadap perumusan peraturan turunan dan implementasi agar menciptakan rasa aman dan nyaman," katanya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan bahwa pemerintah melalui Menteri Keuangan akan segera menerbitkan aturan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan mengatur berbagai mekanisme operasional penerapan Perppu di lapangan. Ia juga menegaskan bahwa teknologi informasi yang digunakan otoritas pajak Indonesia akan dikoordinasikan dengan basis data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga jumlah rekening oleh satu pemilik bisa dideteksi. Artinya, nasabah yang memecah saldo rekeningnya sehingga tidak terlacak petugas pajak, tetap bisa diketahui.

"Jangan khawatir, bank itu akunnya nggak bisa dibikin 12 biji (dipecah-pecah). Tahu mereka. Nggak bisa menghindar," jelas Darmin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement