REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 17-18 Mei 2017 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate) sebesar 4,75 persen. Dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,00 persen dan Lending Facility tetap sebesar 5,50 persen.
Keputusan itu berlaku efektif sejak 19 Mei 2017. Keputusan merupakan konsisten BI menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap mendorong proses pemulihan perekonomian domestik. BI pun tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang bersumber dari global maupun domestik.
"Dari sisi global, perkembangan kebijakan di AS dan geopolitik khususnya di Semenanjung Korea merupakan sejumlah risiko yang perlu tetap diwaspadai. Dari sisi domestik, beberapa risiko yang tetap perlu diwaspadai adalah dampak penyesuaian administered prices terhadap inflasi serta berlanjutnya konsolidasi korporasi dan perbankan," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo, di Gedung BI, Kamis, (18/5).
Maka, BI terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran demi menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bank Indonesia juga berupaya mempererat koordinasi bersama Pemerintah dalam rangka pengendalian inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran dan mendorong kelanjutan reformasi struktural agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi berkesinambungan.
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan membaik, meskipun beberapa risiko tetap perlu dicermati. "Peningkatan prospek ekonomi dunia ditopang oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi di AS, Tiongkok, Eropa dan Jepang. Perekonomian di AS didukung oleh konsumsi yang solid serta peningkatan investasi nonresidensial," jelas Agus.
Ia menambahkan, di Tiongkok, perekonomian tumbuh lebih baik dengan meningkatnya kegiatan investasi swasta dan perbaikan ekspor. Lalu Di Eropa, pertumbuhan ekonomi didorong oleh meningkatnya kinerja sektor manufaktur sejalan dengan perbaikan konsumsi dan ekspor, serta telah menurunnya risiko geopolitik pasca Pemilihan Presiden di Perancis.
Selanjutnya di Jepang, kenaikan permintaan domestik dan ekspor telah mendorong perbaikan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Sejalan dengan perbaikan pertumbuhan ekonomi dunia tersebut, volume perdagangan dunia dan harga komoditas non migas mengalami peningkatan.
"Ke depan, sejumlah risiko terhadap perekonomian global tetap perlu diwaspadai, antara lain kenaikan Fed Fund Rate, kebijakan fiskal dan perdagangan serta penurunan besaran neraca bank sentral AS," tutur Agus. Dirinya mengatakan, perkembangan geopolitik di beberapa kawasan, khususnya di Semenanjung Korea pun harus diwaspadai.