Rabu 03 May 2017 14:21 WIB

BEI: Sandi Jangan Ngomong-Ngomong Soal Rencana Lepas Saham Delta

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bilal Ramadhan
 Pekerja melihat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Selasa (18/4).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja melihat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Selasa (18/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Anies Baswedan dan Sandiaga Uno melepas saham Pemprov DKI Jakarta di perusahaan bir PT Delta Djakarta Tbk (DLTA) menuai masalah. Sebab, calon gubernur dan wakil DKI Jakarta terpilih tersebut tidak boleh asal berbicara akan melepas saham.

"Tolong jangan bicara dulu, apalagi authority belum ada, jadi jangan dulu dong. Kalau misal tiba-tiba enggak jadi, bisa ada sanksinya,'' kata Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistyo, di Kantor BEI Jakarta, Rabu (3/5).

Tito mengungkapkan, sanksi yang diberikan bisa bermacam-macam, mulai dari administrasi, peringatan hingga denda. ‎ Menurut dia, pemegang saham mayoritas harus melaporkan secara resmi rencana pelepasan saham.

Oleh karenanya, tidak boleh berbicara di depan publik karena akan menimbulkan guncangan di pasar. Ia mengatakan, bisa saja investor membeli saham Delta karena melihat perusahaan tersebut juga dimiliki oleh Pemprov DKI.

''Tolong bilang ke Sandi kalau mau jual jangan bilang-bilang. Jangan cuma ngomong di koran saja, karena mempengaruhi pemegang saham Delta (Djakarta) dari publik yang terpengaruh,'' ucap Tito.

Tito menjelaskan, seluruh kejadian yang mempengaruhi pasar harus dilaporkan oleh manajemen perusahaan dalam jangka waktu 2x24 jam. Dalam mengumumkan pelepasan saham, emiten juga harus melalui mekanisme yang benar. Mekanisme tersebut seperti berkirim surat untuk menjual, keterbukaan, baru diumumkan secara resmi. ''Tapi jangan sudah diumumkan tiba-tiba enggak jadi,'' tegas dia.

Meski, lanjut dia, pergerakan saham PT Delta Jakarta tidak terlalu aktif pada perdagangan pasar modal. Namun, pergerakan saham yang stagnan bukan terpengaruh adanya minat investor saja, tapi juga tergantung siapa pemegang saham perusahaan itu.

Kalau penggantinya perusahaan besar kelas dunia itu bagus. Tapi jika penggantinya tidak mengerti konsumennya itu merugikan perusahaan. ''Tapi kalau orang tahunya pemegang sahamnya DKI kan aman lancar terstruktur,'' sebut Tito.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement