Selasa 02 May 2017 00:30 WIB

Perbankan Tanggapi Penyempunaan Aturan Giro Wajib Minimum

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Budi Raharjo
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyempurnakan pengaturan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi GWM rata-rata (averaging). Salah satu tujuannya untuk memberi fleksibilitas dalam pengelolaan likuiditas sehingga meningkatkan efisiensi perbankan.

Menanggapi hal itu, Direktur Keuangan Bank Tabungan Negara (BTN) Iman Nugroho Soeko mengaku biasa saja. "Biasa-biasa saja karena prinsipnya kan GWM tetap dijaga di 6,5 persen," ujarnya kepada Republika, Senin, (1/5).

Ia mengatakan, GWM averaging bermanfaat untuk mengelola likuiditas harian dengan lebih fleksibel. "Misalnya jika kondisi likuiditas yang ketat hari ini GWM BTN 5 persen, berarti kan di hari mendatang kami harus buat GWM 8 persen agar rata-ratanya tetap 6,5 persen," jelas Iman.

Maka secara umum tidak terjadi peningkatan likuiditas. Dengan begitu kredit bisa lebih terpacu. Berdasarkan Peraturan BI (PBI) Nomor 19/6/PBI/2017 GWM Primer dalam rupiah yang sebelumnya diterapkan sebesar 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah dan pemenuhannya dilakukan secara harian.

Kini disesuaikan menjadi GWM yang wajib dipenuhi secara harian sebesar lima persen dari DPK dalam rupiah. Termasuk GWM yang dipenuhi secara rata-rata sebesar 1,5 persen dari DPK dalam rupiah selama periode tertentu.

Sebelumnya, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menyatakan akan memanfaakan kebijakan BI mengenai GWM averaging. Pasalnya, perseroan tengah membutuhkan kelonggaran likuiditas.

Direktur Utama BRI Suprajarto mengatakan, Dana Pihak Ketiga (DPK) BRI belum sepenuhnya dapat diandalkan untuk menopang ekspansi kredit. "LDR (Loan to Deposit Ratio) kami 93 persen. Bukan sesuatu yang jelek, tapi mentok," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement