REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANSISCO -- Penjualan Amazon.com melampaui ritel daring lainnya di Amerika Serikat. Perusahaan yang berbasis di Seattle tersebut memukau Wall Street pada pekan ini dengan kenaikan penjualan sebesar 23 persen, dan mendorong sahamnya ke level tertinggi sepanjang masa. Namun, ada kekhawatiran jika pertumbuhan Amazon berhenti, maka investor akan memandang perusahaan lebih menyukai saham konglomerat.
"Pertumbuhan tinggi ini tidak berkelanjutan.Bayangkan diri anda menjalankan perusahaan di mana satu menit kita berbicara tentang bagaimana mengoperasokan kargo udara, kemudian di menit berikutnya kita berbicara tentang artificial intelligence," ujar seorang partner perusahaan ekuitas swasta Madison Dearborn Partners, Harry Kraemer dilansir Reuters, Ahad (30/4).
Sejauh ini, para analis menolak gagasan untuk menyebut Amazon sebagai konglomerat karena bisnisnya. Meski bisnisnya beragam, semua berhubungan dengan ritel. Belakangan ini, perusahaan konglomerat seperti General Electric Co dianggap kuno di dunia usaha. Jika dibandingkan harga saham dengan pendapatan per sahamnya, Amazon bernilai sekitar 10 kali lipat dari perusahaan konglomerata lainnya yakni Berkshire Hathaway Inc dan United Technologies Corp.
Investor mulai mengurangi berinvestasi saham konglomerat karena memiliki bisnis yang beragam. Oleh karena itu, sebagian besar investor lebih yakin jika mengalokasikan uangnya ke industri manufaktur. Berdasarkan laporan McKinsey & Co pada 2012 menemukan bahwa pendapatan konglomerat rata-rata tumbuh 6,3 persen per tahun dari 2002-2010. Sedangkan, industri manufaktur bisa tumbuh sebesar 9,2 persen.