REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Star Energy menjadi pengelola pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar di Indonesia pascaakuisisi dua aset Chevron Corporation yakni Gunung Salak dan Darajat.
Data Kementerian ESDM yang dikutip di Jakarta, Ahad (16/4) menunjukkan, PLTP Gunung Salak memiliki kapasitas 377 megawatt (MW) dan Darajat sebesar 270.
Sementara, Star Energy, perusahaan afilisasi PT Barito Pacific Tbk, yang dikendalikan pengusaha nasional Prajogo Pangestu, sebelumnya sudah mengelola PLTP Wayang Windu dengan kapasitas 287 MW.
Dengan demikian, setelah mengelola PLTP Gunung Salak, Darajat, dan Wayang Windu, total kapasitas PLTP yang dikelola Star Energy menjadi 934 MW atau terbesar di Indonesia.
Konsorsium Star Energy pada 31 Maret 2017 telah menyelesaikan pembelian dua aset PLTP Chevron yakni Gunung Salak dan Darajat. Sementara, untuk aset panas bumi Chevron di Filipina paling lambat tuntas pada akhir 2017.
Pada 22 Desember 2016, Konsorsium Star Energy dan Chevron meneken share sale and purchase agreement untuk dua aset di Indonesia dan satu aset di Filipina tersebut. Nilai akuisisi ketiga aset tersebut diperkirakan mencapai 2,3 miliar dolar AS atau setara Rp 31 triliun.
Konsorsium Star Energy untuk pembelian PLTP yang dikelola Chevron terdiri atas Star Energy Group Holdings, Star Energy Geothermal, AC Energy (Ayala Group di Filipina), dan EGCO dari Thailand. Grup Star Energy itu menguasai 68,31 persen saham konsorsium, sementara AC Energy 19,3 persen, dan EGCO 11,89 persen.
Dua aset PLTP Chevron di Indonesia yang dijual kepada Konsorsium Star Energy adalah Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat dan Darajat di Garut, Jawa Barat. Sementara, aset di Filipina adalah berupa 40 persen saham PLTP Tiwi-MakBan berkapasitas total 326 MW.