REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perekonomian Indonesia dinilai kehilangan keuntungan yang didapat dari beberapa komoditas setelah adanya kebijakan proteksionisme di sektor sumber daya alam. Kini, Indonesia perlu mencari komoditas pengganti yang menguntungkan.
Saat ini ekspor komoditas hanya berada di angka 40 persen dari seluruh ekspor, turun dari hampir 60 persen dari lima tahun lalu. Berkurangnya ekspor membuat produksi dalam negeri meningkat.
BMI Research memperkirakan, produksi batu bara Indonesia akan lebih tinggi tahun depan dibandingkan pada 2013. Produksi ekspor mineral utama termasuk bauksit, timah, dan nikel akan tetap jauh di belakang puncak siklus komoditas. Hal ini dapat mempersulit rencana Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi negara sebesar 7 persen. Hal itu dilakukan dengan dorongan investasi di bidang manufaktur untuk mengimbangi pendapatan komoditas yang hilang, tetapi belum memberi hasil.
Ekonom DBS Group Holdings Ltd di Singapura Gundy Cahyadi mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen sudah cukup bagus. Angka tersebut menurun karena sebelumnya pertumbuhan Indonesia mencapai 6 persen dari hasil komoditas. Menurutnya, untuk kembali ke 6 persen, Indonesia harus memiliki sektor lain sebagai pengganti.
"Masalahnya adalah tidak ada dukungan dari manufaktur," ujar dia dilansir Bloomberg, Rabu (29/3).
Sementara harga komoditas global merosot selama lima tahun setelah berada di puncak pada 2011, tahun lalu terjadi rebound harga. Namun investasi di sektor komoditas Indonesia telah dilemahkan oleh aturan lingkungan yang lebih ketat dan kebijakan nasionalis, termasuk tarif impor dan persyaratan visa ketat bagi pekerja asig. Tindakan keras telah menyebabkan penutupan tambahng dan keluarnya perusahaan sumber daya asing besar termasuk Newmont Mining Corp dan BHP Billiton Plc tahun lalu.
Indonesia menghentikan ekspor bijih logam pada 2014 untuk mendorong pembangunan smelter lokal. Meski larangan mengendur pada Januari, pengiriman nikel belum kembali terjadi.
Pemerintah pekan lalu mengatakan akan mengambil saham mayoritas di unit-unit lokal pemilik tambang tembaga terbesar kedua di dunia, Freeport. Hal ini memperdalam perselisihan dan membuat ribuan orang kehilangan pekerjaan.
Sementara pemerintah pada Januari menaikkan pajak enam kali lipat pada ekspor minyak sawit yang diharapkan memberi dampak terbatas pada pengiriman karena kemungkinan adanya gangguan pasokan di Malaysia. Komoditas ini menyumbang sekitar 10 persen dari keseluruhan ekspor nasional.
Menurut ekonom Oversea-Chinese Banking Corp di Singapura Wellian Wiranto, ada hikmah untuk tidak bergantung pada komoditas. Mengurangi ketergantungan harus menjadi rencana jangka menengah positif bagi perekonomian karena memaksa pemerintah dan pebisnis menemukan sumber pertumbuhan lainnya. "Anda tidak ingin menempatkan semua telur dalam satu keranjang," ujar dia.