Jumat 24 Mar 2017 06:17 WIB

Data PPATK Dikaji untuk Potensi Penerimaan Pajak

Pegawai pajak menerima Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dari wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak. ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pegawai pajak menerima Surat Pemberitahuan (SPT) pajak dari wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diserahkan kepada aparat penegak hukum (apgakum) namun tidak ditindaklanjuti dapat dikaji untuk mencari potensi penerimaan pajak oleh Kementerian Keuangan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 tahun 2017.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam diskusi media di Bogor, Kamis (23/3) malam mengatakan PPATK akan menyampaikan laporan yang tidak ditindaklanjuti penyidik kepada Menteri Keuangan untuk selanjutnya dianalisa sebagai potensi perpajakan.

Inpres No 2 tahun 2017 tentang Optimalisasi Pemanfaatan LHA dan LHP PPATK, menyebutkan bila PPATK sudah menyerahkan LHA atau LHP tapi tidak ditindaklanjuti atau dihentikan penyidik karena butuh bukti dan yang lainnya maka hasil penyelidikan atau penyidikan dari aparat penegak hukum itu diberikan ke PPATK.

Kemudian PPATK melakukan analisis dan menyampaikannya ke Menteri Keuangan (Menkeu) agar Menkeu melakukan analisa terhadap potensi perpajakan.

Pada prinsipnya bila PPATK menerbitkan Laporan Hasil Analisis (LHA), artinya ada indikasi tindak pidana pencucian uang sedangkan LHP adalah Laporan Hasil Pemeriksaan.

Inpres No 2 tahun 2017 itu tertanggal 10 Maret 2017 dan ditujukan kepada Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala Badan Narkotika Nasional.

"Kami minta hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh aparat penegak hukum (apgakum) agar kita tahu ada potensi pajaknya dan selanjutnya diberikan ke Menkeu dan minta agar beliau perintahkan Dirjen Pajak atau Dirjen Bea Cukai untuk menagih pajaknya," tambah Badaruddin.

Badaruddin mengakui bahwa LHA dan LHP PPATK baru 50 persen yang ditindaklanjuti oleh apgakum.

"Penyebabnya memang kadang ada persepsi berbeda, apgakum memandang suatu hasil analisa untuk fakta hukum diperlukan berbagai tambahan bukti lain. Kadang penyidiknya tidak dapat karena tidak ada bukti tambahan misalnya hanya ada transaksi dan bukti lain tidak ada," ungkap Badaruddin.

Ia pun menegaskan pentingnya koordinasi dan komunikasi antara PPATK dan Apgakum dalam mengatasi persoalan ini.

"Yang penting adalah koordinasi dan komunikasi, kalau hasil analisa PPATK kurang maka marilah kita duduk bersama, yang kurangnya di mana? Sehingga bisa kita tambahi. Tapi kerja sama kami dengan apgakum semakin hari semakin bagus dan ke depan kita akan lihat potensi pajaknya, jadi tidak lepas begitu saja," tegas Badaruddin.

Sejumlah sebab penyelidikan dan penyidikan LHA dan LHP Apgakum dihentikan adalah ternyata laporan itu dinilai wajar, atau beralamat palsu atau hal-hal lainnya.

Dalam inpres ini juga disebutkan bahwa Menkeu dapat meminta pejabat atau pegawai PPATK menjadi tenaga ahli. Menkeu pun menyampaikan laporan atas pelaksanaan Inpres itu ke Presiden secara berkala atau bila diperlukan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement