Kamis 23 Mar 2017 10:25 WIB

YLKI: Taksi Daring Belum Jamin Perlindungan kepada Konsumen

Rep: Frederikus Bata/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua YLKI Tulus Abadi
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ketua YLKI Tulus Abadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Per 01 April 2017, Kementerian Perhubungan akan memberlakukan aturan baru terhadap transportasi/taksi berbasis aplikasi, taksi online atau taksi daring. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai dalam konteks perlindungan konsumen dan dalam rangka sistem transportasi yang keberlanjutan, regulasi baru tersebut bisa dipahami tapi dengan beberapa catatan kritis.

Ketua pengurus harian YLKI, Tulus Abadi menerangkan prinsip dasar dalam bertransportasi adalah keselamatan, aksesibilitas, keterjangkauan, terintegrasi, kenyamanan dan keberlanjutan. Menurut dia, sejauh ini taksi berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin saja, yakni aksesibilitas. "Konsumen dengan (relatif) mudah mendapatkan taksi online daripada taksi konvensional," ujarnya di Jakarta, lewat siaran pers, Kamis (23/3).

Sedangkan aspek yang lain, menurut Tulus, taksi daring belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan pada konsumen yang sebenarnya. Ia menyontohkan, misalnya, belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya. 

"Tarif taksi online juga tidak bisa dibilang murah, bahkan bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. Sebab taksi online memberlakukan tarif berdasarkan rush hour dan non rush hour," ujar Tulus.

Ia menjelaskan, pada saat jam sibuk atau rush hour, tarif taksi daring jauh lebih mahal apalagi dalam kondisi hujan. Jadi untuk diberlakukan tarif bawah taksi daring secara praktis tidaklah kesulitan. Karena selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas. 

Justru yang harus disorot menurut Tulus bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. "Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran," katanya.

Taksi daring, Tulus melanjutkan, belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. Bahkan jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via abritase di Singapura. "Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen," ujarnya.

Tulus berpendapat operator taksi daring juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam term of contract-nya, mereka  akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dishare ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi. Oleh karena itu, menurut dia, Kemenhub dalam revisinya Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif. 

Dalam konteks persaingan usaha, YLKI mengingatkan tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tariff. Sebab predatory tariff akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tariff.

Di sisi yang lain, YLKI mendesak kepada operator taksi konvensional untuk meningkatkan pelayanannya. Misalnya kemudahan mengakses bagi konsumen semudah taksi daring. Jika perlu Kemenhub juga mengaudit tarif taksi konvensional, harus dibebaskan dari unsur inefisiensi. Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena ada unsur inefisiensi dalam tarif taksi konvensional.

Menurut YLKI,  revisi Permenhub No 32/2013 sebenarnya sudah terlalu permisif dan kompromistis. Misalnya soal akomodasi/pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai taksi. Padahal mobil LCGC hanya 1.000 cc seharusnya tidak laik untuk angkutan umum karena tidak aman. Uji kir juga cukup dengan stiker tidak harus diketok di mesinnya.  "Bahwa keberadaan taksi online tidak mungkin dilarang, tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi," ujar Tulus.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement