Rabu 22 Mar 2017 10:51 WIB

Darmaningtyas: Protes Sopir Angkot ke Angkutan Daring Kurang Tepat

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nur Aini
Polisi membubarkan kerumunan sopir angkutan kota (angkot) yang tengah melakukan aksi mogok beroperasi dan diduga akan melakukan sweeping terhadap pengemudi ojek online di Simpangan Depok, Jawa Barat, Selasa (21/3).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Polisi membubarkan kerumunan sopir angkutan kota (angkot) yang tengah melakukan aksi mogok beroperasi dan diduga akan melakukan sweeping terhadap pengemudi ojek online di Simpangan Depok, Jawa Barat, Selasa (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perseteruan antara angkutan umum dan online memanas kembali akhir-akhir ini. Demonstrasi hingga aksi kekerasan mulai menghiasi pemberitaan hingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Pengamat transportasi, Darmaningtyas mengatakan aksi ini merupakan buntut dari permasalahan angkutan umum yang sudah berlarut-larut. Ia menilai protes angkutan umum pada angkutan online sebenarnya kurang tepat.

Menurut Darmaningtyas, semuanya sudah berawal sejak 2005, saat kredit sepeda motor begitu mudah dan murah. Hanya dengan uang muka Rp 500 ribu, motor sudah bisa dibawa pulang.

Pernyataannya ini didasarkan pada hasil studi Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) Kementerian Perhubungan di wilayah Jabodetabek tahun 2011. Bisnis angkutan perkotaan pun jadi sepi karena pengguna angkot lebih memilih kredit motor.

"Para pengemudi angkot itu tidak tahu meluapkan kemarahannya kepada siapa, karena kalau kepada para pemilik sepeda motor pribadi tentu tidak memiliki dasar," kata dia pada Republika.co.id, Rabu (22/3).

Kemudian muncul para pengemudi Gojek, GrabBike, dan Uber yang menggunakan sepeda motor untuk moda angkutan umum. Kepada merekalah kemarahan itu diluapkan. "Sesungguhnya jumlah pengguna angkot yang berpindah ke ojek online tidak signifikan juga, kebanyakan mereka pindah ke sepeda motor pribadi," katanya. Pengguna ojek online mayoritas justru pengguna ojek pangkalan (Opang) dan pengguna taksi resmi.

Alasan pindahnya tentu menghindari kemacetan dengan tarif yang lebih murah. "Dengan kata lain, protes para awak angkutan kota kepada ojek online sebetulnya kurang tepat," kata Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.

Selain itu, angkutan umum pun sangat minim pemeliharaan. Pada 2011, tingkat keterisian angkot (load factor) tinggal 30-40 persen. Angkutan umum jarang penuh penumpang. "Dengan load factor segini, jangkankan untuk peremajaan armana, pemeliharaan saja tidak cukup," kata Darmaningtyas.

Menurutnya, ini adalah penyebab kanibalisasi, perangkat dari angkot satu pindah ke angkot lain. Dari aspek keselamatan, langkah kanibalisasi ini tidak menjamin aspek keselamatan. Darmaningtyas mengatakan saat ini adalah saat yang tepat untuk menyelamatkan angkutan umum. Saat ini bisa dijadikan momentum pembenahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement