Kamis 16 Mar 2017 03:32 WIB

Suku Bunga The Fed Diperkirakan Naik, Ekonom: BI tak Perlu Ikut-ikutan

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Budi Raharjo
The Fed/Ilustrasi
Foto: ABC News
The Fed/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perkiraan kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS Fed Fund Rate (FFR) akan memberikan pengaruh kepada perkembangan ekonomj global. Namun untuk meresponnya, ekonom Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian menilai Bank Indonesia (BI) belum perlu menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate.

Besok dewan gubernur bank sentral Amerika Serikat atau yang akrab disebut the Federal Open Market Committee (FOMC) akan mengadakan rapat untuk membahas perkembangan ekonomi US terkini dan sekaligus menetapkan suku bunga acuan, yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan karena perekonomian US mulai bergairah.

Perkembangan inflasi sudah memperlihatkan pergerakan mendekati proyeksi the Fed sebesar  2,5 persen dan data tenaga kerja US sudah memperlihatkan perbaikan. Dengan data-data perekonomian US terkini tersebut, pasar memperkirakan Fed rate akan naik dalam rapat FOMC besok.

Kenaikan ini pastinya berdampak terhadap semua pasar termasuk Indonesia, yang juga mengadakan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia mulai hari ini dan besok akan memutuskan besaran suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate.

Menurut Fakhrul, bank sentral belum perlu merespons kenaikan suku bunga The Fed kalau besok diputuskan naik, dengan serta merta menaikkan suku bunga acuan di dalam negeri. Sebab, inflasi di dalam negeri diperkirakan masih akan berada dalam target Bank Indonesia antara 3-5 persen untuk sepanjang tahun ini, meski pemerintah masih melanjutkan rencana kenaikan tarif listrik.

"Kenaikan suku bunga The Fed kali ini tidak akan terlalu membahayakan pasar dan perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Arus modal ke pasar obligasi diperkirakan masih akan mengalir seiring dengan ekspektasi adanya kemungkinan S&P menaikkan rating Indonesia dalam waktu dekat," jelas Fakhrul, Rabu (15/3).

Fakhrul menuturkan, fundamental Indonesia yang masih memperlihatkan pemulihan yang tercermin pada stabilnya nilai tukar, perbaikan neraca perdagangan dan perekonomian yang diperkirakan belum akan tumbuh signifikan pada kuartal pertama ini, akan menjadi pertimbangan utama bank sentral dalam mempertahankan suku bunga tetap sebesar 4,75 persen pada bulan ini.

Apalagi hingga akhir tahun lalu kredit perbankan masih tumbuh 7,9 persen secara tahunan. Tahun ini perbankan menargetkan kredit akan tumbuh sekitar 10-12 persen. "Untuk mendorong perbankan lebih agresif menyalurkan kredit, sebenarnya BI sudah bisa mengeluarkan aturan yang lebih detail terkait rencana pembayaran GWM secara rata-rata atau secara teknikal disebut averaging GWM, sehingga bank lebih fleksibel dalam mengatur likuiditasnya," jelasnya.

Dengan lebih aktifnya perbankan dalam menyalurkan kredit, kata Fakhrul, tentunya akan menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurut BI masih bisa bertumbuh antara 5-5,4 persen untuk sepanjang tahun ini. Estimasi ini menurutnya sesuai dengan perkiraan Bahana yang sebelumnya sudah memperkirakan ekonomi akan tumbuh sebesar 5,4 persen pada 2017.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement