REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum akan mengatur bunga yang dikenakan ke nasabah financial technology (fintech) dengan skema Peer to peer Lending. Tingkat bunga pinjaman akan diatur oleh mekanisme pasar.
Kepala Ekskutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Firdaus Djaelani menjelaskan, saat ini otoritas akan fokus mengembangkan industri yang baru mulai berjalan ini. Terkait bunga, menurutnya, hal tersebut bergantung pada biaya dana (cost of fund) perusahaan fintech.
"Agak susah, kan bunga itu tergantung cost of fund dari masing-masing perusahaan, belum lagi jangka waktu ada orang yang pinjam tiga hari, sebulan, dan ada enam bulan," ujar Firdaus di Menara Merdeka OJK, Jakarta, Selasa (14/3).
Menurut Firdaus, dengan mendorong industri untuk semakin berkembang dan lebih banyak perusahaan fintech, maka persaingan akan semakin ketat dan bunga akan diatur sesuai kompetisi yang ada. Kendati begitu, ia menilai bunga yang ditetapkan tidak akan terlalu jauh lebih tinggi dibandingkan perbankan.
Ia mencontohkan pinjaman bank dalam setahun dikenakan bunga sebesar 12-14 persen, fintech kemungkinan mengenakan bunga sekitar 15-18 persen. Ia juga menilai, masyarakat yang butuh pinjaman cepat dalam waktu singkat juga tidak akan keberatan dengan bunga sebesar 1,5 persen- 2,0 persen.
Sementara itu untuk pinjaman lebih besar, atau proyek, umumnya perusahaan fintech akan meminta agunan kepada peminjam. Dengan demikian, akan ada manajemen risiko yang baik dan perlindungan konsumen. "Selain agunan juga prinsip know your customer (kyc) atau mengetahui data lengkap debitur atau peminjam," kata Firdaus.
Selain dengan KYC, perusahaan fintech juga akan diikutsertakan sistem informasi debitur (SID) Bank Indonesia yang akan segera dipindahkan menjadi sistem informasi lembaga keuangan (SILK). Dengan sistem ini, perusahaan akan mengetahui rekam jejak debitur dalam melakukan pinjaman.