REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak perusahaan PT Bank Negara Indonesia (BNI) yaitu PT BNI Multifinance sebelumnya tidak pernah terdengar gaungnya. Hal itu karena perusahaan yang didirikan pada 1983 itu sempat merugi selama enam tahun terakhir.
Pada 2015, kerugian menembus Rp 12,7 miliar. Dengan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing finance/NPF) mencapai 10 persen. Melihat kondisiitu, BNI sebagai induk perusahaan pun melakukan perombakan manajemen, termasuk mengganti direksinya. Maka pada Oktober 2015 seorang pensiunan BNI Suwaluyo pun ditunjuk menjadi Direktur Utama BNI Multifinance.
"Waktu saya diminta masuk ke BNI Multifinance pada 2015 kondisinya seperti berada di ruang ICU yang harus dikasih infus dan dirawat," ujar Suwaluyo kepada wartawan, di Jakarta, Selasa, (21/2).
Ia menambahkan, volume bisnisnya saat itu juga tidak bisa menutupi biaya operasionalnya. Bahkan semangat kerja para pegawainya pun tidak ada. Sehingga masuk kerja seenaknya.
"Dari 80 total karyawan BNI Multifinance, sebanyak 50 ada di kantor pusat namun marketingnya cuma enam orang. Akhirnya pas saya masuk saya tambah jadi 18 orang. Saya kerja sama dengan BNI untuk memberikan training kepada mereka," tutur Suwaluyo.
Dirinya menambahkan, BNI Multifinance juga bersinergi dengan perusahaan induk dalam mencari nasabah. Kini, porsi pembiayaanya 75 persen di sektor komersil dan 25 persen di sektor konsumer. Diharapkan tahun ini pembiayaan ke sektor konsumer bisa meningkat hingga 30 sampai 35 persen.
Kini setelah dia memperbaiki semuanya, perusahaan mulai tumbuh baik hingga pada 2016 mendapat laba sebesar Rp 8,1 miliar. Jumlah aset sampai akhir tahun lalu pun menembus Rp 517 miliar. "Jumlah pegawai juga sudah sampai 85 orang. Ditargetkan tahun ini melebihi 100 orang," ujarnya.
Suwaluyo menambahkan, perseroan sudah memiliki tujuh kantor cabang di Solo, Yogyakarta, Semarang, Lampung, dan lainnya, namun tahun ini berencana membuka kantor lagi di Pekan Baru, Makassar, Denpasar, Bandung, serta Banjarmasin.