Selasa 21 Feb 2017 18:29 WIB

Bea Cukai Sebut Penerimaan Aman tanpa Freeport

President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan, penerimaan bea keluar masih akan aman sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 meskipun terganggunya aktivitas ekspor mineral dari PT Freeport Indonesia.

Ditemui usai acara simposium di Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Selasa, Heru menjelaskan pemerintah telah mengasumsikan tidak ada kegiatan ekspor mineral dan batubara dalam penerimaan bea keluar di 2017.

"Asumsi dari bea keluar yang kami tetapkan tahun kemarin untuk target 2017 tanpa ada ekspor minerba. Misalnya ekstrem tidak ada ekspor, maka tidak masalah," kata dia.

Heru mengatakan target penerimaan bea keluar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 adalah sebesar Rp340 miliar. PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara) adalah kontributor terbesar penerimaan bea keluar konsentrat tembaga.

Dalam dua tahun terakhir, PT Freeport Indonesia menyumbang Rp1,39 triliun pada 2015 dan Rp1,23 triliun (2016), sedangkan PT Newmont Nusa Tenggara sebesar Rp1,309 triliun (2015) dan Rp1,25 triliun (2016).

Heru mengatakan pihaknya akan terus memonitor perkembangan permasalahan yang terjadi di PT Freeport Indonesia. Dia menegaskan Bea Cukai hanya akan melayani pelaku usaha yang mempunyai surat persetujuan ekspor (SPE).

"Selama ada SPE akan kami layani. Sampai dengan sekarang, untuk Freeport kami belum menerima SPE," kata dia.

Sebelumnya, PT Freeport Indonesia telah menghentikan produksi sejak 10 Februari 2017. Permasalahan tersebut bermula saat pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Namun Freeport keberatan dengan skema tersebut karena pemegang IUPK diwajibkan untuk melakukan divestasi hingga 51 persen, yang berarti kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Bahkan, Freeport juga berencana untuk menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional.

Baca juga,  Jokowi Tanggapi Santai Persoalan PT Freeport.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement