REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah tetap kukuh pada pendiriannya untuk meminta Freeport tunduk pada peraturan perundangan-undangan yang berlaku, meski perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut 'mengancam' merumahkan karyawannya mulai pekan ini. Pemerintah sebelumnya telah setuju untuk memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memberikan peluang bagi Freeport untuk menjalankan kembali aktivitas ekspor konsentrat mereka.
Itikad baik pemerintah tampaknya tidak sejalan dengan keinginan Freeport untuk mendapat kepastian investasi yang sama seperti tercantum dalam Kontrak Karya (KK) sebelumnya. Larangan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 praktis membuat aktivitas produksi perusahaan terhenti.
Dalam konferensi pers di awal pekan ini, Freeport menyatakan akan merumahkan karyawan kontrak di lingkungan operasional teknis perusahaan. Kebijakan Freeport untuk merumahkan karyawan ini berlaku baik untuk pekerja lokal atau pekerja asing. Paling tidak, 12 ribu karyawan kontrak dari total 30 ribu karyawan disebut akan dirumahkan pekan ini.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menjelaskan bahwa pemerintah sama sekali belum menerima laporan dari Freeport terkait rencana pemangkasan karyawan. Ia menilai, sebagai perusahaan skala internasional, seharusnya Freeport memahami bahwa sumber daya manusia yakni pegawai merupakan aset paling penting. Jonan juga menilai bahwa seharusnya opsi pengurangan karyawan menjadi opsi terakhir.
"Kalau saya CEO-nya (Presiden Direktur) Freeport, saya akan bertindak berbeda," ujar Jonan di Kompleks DPR/MPR, Senin (20/2).
Berdasarkan data perusahaan, komposisi pekerja didominasi oleh pekerja dalam negeri atau sekitar 97-98 persen dari seluruh karyawan Freeport. Pihak Freeport Indonesia menegaskan, langkah untuk mengurangi jumlah karyawan ini tidak akan memandang latar belakang keryawan apakah asing atau bukan. Pemerintah menegaskan bahwa Freeport seharusnya tidak bertindak terlalu dini dengan memangkas jumlah karyawan begitu saja.