Rabu 01 Feb 2017 13:15 WIB

Rasio Gini Turun Tipis, Ketimpangan Perkotaan Tetap Tinggi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Suasana pembangunan infrastruktur perkotaan Jakarta, Rabu (25/6).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Suasana pembangunan infrastruktur perkotaan Jakarta, Rabu (25/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasio gini yang mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia tercatat turun tipis. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, angka ketimpangan pada September 2016 lalu sebesar 0,394 atau 0,003 poin dari nilainya pada Maret 2016 sebesar 0,397. Angka ini juga menurun dibandingkan rasio gini September 2015 sebesar 0,402.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, meski turun tipis untuk nilai ketimpangan secara nasional, tetapi ketimpangan di perkotaan tercatat masih lebih tinggi dibanding ketimpangan pedesaan. Rasio gini perkotaan tercatat sebesar 0,409 atau turun sangat tipis dibanding raihannya pada Maret 2016 lalu sebesar 0,410. Sementara rasio gini di pedesaan mengalami penurunan lebih signifikan dengan nilai 0,316. Angka ini menurun dari capaian sebelumnya sebesar 0,327.

"Pemerintah harus berupaya lebih agar tingkat ketimpangan makin lama makin turun, karena ketimpangan yang tinggi bisa timbulkan berbagai konflik sosial," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Rabu (1/2).

(Baca juga: Penyumbang Tertinggi Inflasi Bukan Lagi Harga Pangan)

Suhariyanto mengatakan, ketimpangan yang menurun tipis ini disebabkan oleh pertumbuhan pengeluaran per kapitan oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah mengalami perbaikan. Bila dibagi menjadi tiga kelompok ekonomi, yakni 40 persen ekonomi terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen tertinggi, maka kelompok ekonomi terbawah mengalami kenaikan tertinggi.

BPS mencatat, pengeluaran ekonomi terbawah tumbuh 4,56 persen, sementara kelompok menengah tumbuh 11,69 persen, dan kelompok ekonomi tertinggi hanya tumbuh 3,83 persen. "Jadi kenaikan di level bawah dan menengah lebih tinggi. Itu alasan utamanya," ujar Suhariyanto.

Alasan kedua menurunnya ketimpangan, menurut BPS, yakni adanya indikasi penguatan ekonomi untuk penduduk kelas ekonomi menengah. Data survei ekonomi nasional oleh BPS menunjukkan bahwa jumlah dan presentasi penduduk yang bekerja dengan status bekerja sendiri mengalami kenaikan. Artinya, pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) meningkat. Jumlah pekerja yang berusaha sendiri naik 4,77 persen pada Agustus 2016 lalu.

"Namun, dari waktu ke waktu, ketimpangan di kota memang selalu lebih tinggi dari desa. Karena gap lapisan penduduk di perkotaan disebut lebih tinggi dibanding di desa," kata Suhariyanto.

Menurutnya, kunci pengurangan ketimpangan adalah perluasan kesempatan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, untuk mengakses pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan akses terhadap modal usaha.  "Kalau itu bisa diturunakn artinya kita berikan equal access (akses setara) kepada masyarakat baik kota dan desa, maka itu bisa turunkan dua-duanya (ketimpangan desa-kota)," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement