REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peran pedagang sangat penting dalam perkembangan ekonomi syariah. Hal ini terbukti dari survei literasi keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan hasil survei nasional literasi inklusi keuangan (SNLIK) OJK 2016, ada beberapa anomali dari tingkat literasi dan akses masyarakat ke lembaga keuangan atau inklusi keuangan.
Seperti di Bali, inklusi keuangan atau akses masyarakat pada keuangan syariah di sana yakni sebesar 4,36 persen. Namun, literasi keuangan atau pengetahuan masyarakat mengenai keuangan syariah di Bali hanya sebesar 1,06 persen.
Anomali tersebut juga terjadi di beberapa daerah lain, seperti Papua yang memiliki literasi keuangan syariah 1,09 persen namun inklusi keuangannya malah lebih tinggi, yakni sebesar 5,82 persen. Maluku Utara juga tercatat dengan tingkat literasi sebesar 12,73 persen, sedangkan inklusi lebih tinggi yakni sebesar 24,73 persen.
Menurut Pengamat Ekonomi Syariah Adiwarman Karim, anomali tersebut memang biasa terjadi di daerah pusat perdagangan. Sebagai contoh di Bali dan Papua, perdagangan dikuasai oleh tiga suku pedagang yang mayoritas muslim yakni Jawa, Padang dan Bugis.
"Walaupun penduduk bukan mayoritas Islam, tapi pedagangnya mayoritas Islam. Jadi, begitu bank syariah buka, mereka langsung berbondong-bondong ke sana," tutur Adiwarman pada Republika, Rabu (25/1).
Untuk di Papua, inklusi keuangan yang lebih tinggi dibandingkan literasi itu terjadi di kota-kota perdagangan seperti Biak dan Manokwari. Menurut Adiwarman, pada daerah pusat perdagangan seperti kedua daerah tersebut, kantor cabang bank syariah lebih cepat mencapai break even point (BEP).
Normalnya, kantor cabang bank mencapai BEP setelah 12-16 bulan kantor dibuka, namun untuk di Bali dan Papua BEP dapat diraih selama empat sampai enam bulan pertama. Hal itu merupakan penyebab permintaan keuangan syariah tinggi meskipun pengetahuan masyarakat akan keuangan syariah masih minim.
Kondisi ini berbeda dengan wilayah Jawa Timur. Di daerah ini, literasi keuangannya mencapai 29,35 persen. Namun, pengguna lembaga keuangan syariah justru malah hanya sebesar 12,21 persen.
Adiwarman mengungkapkan, hal ini karena daerah Jawa Timur merupakan basis pesantren dan biasanya mereka lebih paham mengenai ilmu syariah. "Terutama, di daerah Tapal Kuda. Banyak dari pesantren-pesantren sangat memahami bank syariah sehingga dari segi syariah itu kadang-kadang bank syariah sulit penetrasi karena calon nasabah lebih pinter daripada bankirnya," tuturnya.