REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris harus mendapat persetujuan parlemen jika ingin memulai proses Brexit. Pada Selasa (24/1) Mahkamah Agung memutuskan parlemen harus melakukan pemungutan suara terkait hal ini.
Perdana Menteri Inggris Theresa May kini tidak bisa mulai pembicaraan dengan Uni Eropa hingga anggota parlemen mendukungnya. Ini menjadi tantangan Brexit selanjutnya karena parlemen dikuasai Skotlandia, Welsh dan Northen Ireland yang kontra-Brexit.
Selama hearing Mahkamah Agung, pendukung putusan menilai menolak pemungutan suara parlemen adalah sesuatu yang tidak demokratis dan melanggar prinsip konstitusiaonal. Mereka mengatakan, ini bisa melanggar hukum Inggris yang berlaku.
Sementara, pemerintah berpendapat, berdasarkan Royal Prerogative, mereka bisa melakukan hal ini tanpa perlu konsultasi dengan parlemen. Selain itu, para anggota parlemen dahulu sudah menyerahkannya ke tangan partisipan referendum Juni tahun lalu.
Namun pada akhirnya, Presiden Mahkaman Agung, Lord Neuberger memutuskan parlemen kembali berperan besar. "Atas suara mayoritas delapan dan tiga, MK hari ini memutuskan pemerintah tidak bisa memulai Article 50 tanpa otorisasi Parlemen," katanya.
Ia merujuk pada aturan Brexit. MK juga menolak berargumen bahwa perlemen Skotlandian, Dewan Welsh dan Dewan Northen Ireland harus melakukan pemungutan suara terkait Article 50 sebelum memulainya. "Hubungan dengan Uni Eropa bukan hanya masalah pemerintah Inggris," katanya.