REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah berpendapat pemerintah dapat memanfaatkan kepemimpinan Presiden Amerika Donald Trump untuk turut mewujudkan poros maritim.
"Pada masa kepemimpinan Obama, pengaruh Amerika di kawasan Asia Pasifik vakum, seperti tidak dipedulikan. Makanya Cina pun muncul, termasuk dengan klaimnya di Laut Cina Selatan dan Timur," kata Reza saat ditemui di Jakarta, Sabtu (21/1).
Dia menjelaskan, kemunculan Cina untuk menjadi negara "super power" direspons oleh Trump dengan reaksi keras berupa ancaman eskalasi militer. Hal tersebut seharusnya menjadi peluang bagi pemerintah Indonesia untuk menawarkan investasi dan pengembangan infrastruktur poros maritim yang dinilai masih belum terlalu kuat.
"Ada beberapa daerah yang belum dikembangkan, ini bisa jadi celah untuk bekerja sama dengan Trump mengingat keinginannya menghentikan hegemoni Cina di Asia Pasifik," pungkas Reza. Meski pun demikian, untuk memutuskan apakah pemerintah akan bekerja sama dengan Cina atau Amerika memerlukan kajian yang mendalam dan sikap waspada.
Ketua Ikatan Alumni Hubungan Internasional (Ikahi) Universitas Padjajaran Irman G Lanti berpendapat Indonesia harus menentukan sikap sebelum berpihak pada salah satu negara. "Trump sudah tidak lagi memandang Cina sebagai ancaman, tapi sudah sebagai lawan. Trump akan keras ke sini, kita harus melihat keuntungan dan kerugiannya," kata Irman pada kesempatan yang sama.
Dia menilai selama ini Presiden Joko Widodo dalam menjalin hubungan dengan Cina terlihat hanya sebatas hubungan perdagangan dan investasi, tidak ada hubungan diplomatis secara kuat. "Dalam kasus ini Trump akan melihat apakah Indonesia kawan atau lawan, sedangkan Indonesia dan Cina hanya ada kepentingan perdagangan. Bukan hubungan diplomasi yang pasti. Oleh karenanya pemerintah harus terbuka, tentukan sikap secara jelas Cina," ujar Irman menerangkan.